Dewi dan rombongan perempuan itu beranjak menuju sebuah rumah yang tak jauh dari gunungan sampah. Rumah itu lebih mirip bilik karung, karena tak berdinding. Hanya deretan karung yang menggantung membentuk petak. Atapnya lembaran seng yang telah berkarat. Entah bagaimana jika hujan mengguyur. Yang jelas air pasti akan menggenang sampai ke dalam.
Dewi dengan sumringah mempersilahkan perempuan itu masuk ke rumahnya. Tak terlihat beban di matanya. Tak terlihat rasa malu di wajahnya. Gadis kecil itu begitu bersemangat menunjukkan rumahnya. Rumah yang begitu dibanggakannya.
“ini rumahmu Dewi ?”
“Iya. Aku tinggal sama bapak, emak dan dua kakakku...”
“tidurnya dimana ?”
“di sini...” Dewi memperagakan bagaimana posisinya saat tidur di atas lembaran kardus yang disusun memanjang
“yang lain ?”
Dewi terdiam sejenak, “tidurnya gantian tante...biasanya bapak emak tidur duluan. Nanti malamnya bapak emak bangun, gantian kakak yang tidur. Tapi aku boleh tidur terus heheee...”
Perempuan itu terhenyak. Ia benar-benar tak menyangka jika di tengah kota metropolitan nyatanya masih ada sekelumit kisah perjuangan hidup yang sangat tidak mudah. Bahkan, untuk sekadar tidur saja mereka harus berjuang, berbesar hati, menahan kantuk, menahan dingin, menahan lelah...
Tanpa terasa airmata meleleh membasahi pipi perempuan itu. Bibirnya bergetar. Tak kuasa ia menahan haru dan iba yang tiba-tiba saja menyeruak. Selama ini ia menganggap kisah seperti ini hanya ada di dongeng. Cerita yang teraniaya dan dianiaya. Tapi kini ia melihatnya. Jelas tanpa naskah drama.
“catat ! agendakan pembangunan kampung codet ini prioritas Darwis ! suaranya tegas meski dengan linangan airmata