Ketika raga tak lagi mampu mendekap, maka biarkan angin menggantikannya. Ketika jiwa tak lagi sanggup menghangatkan, maka biarkan matahari melakukannya. Bekunya hati takkan bisa mencair kembali, meski jutaan lentera menyala. Matinya kalbu takkan hidup kembali, meski nyawa telah ditiupkan.
Aku hanya bisa diam. Membisu. Perih ini tak ada yang tahu, hanya bisa kurasakan. Ingin rasanya berlalu, namun sangat berat. Ingin meninggalkan tapi tak cukup kuat kulakukan. Cinta yang teramat sangat menahan langkahku. Semakin menyayat. Semakin menyiksa. Tak ada pilihan lain. Aku diam. Diam dalam kekosongan.
Bukan pengkhianatan yang membawa luka ini, tapi rasa cinta yang tak kunjung padam. Semakin aku berusaha membenci semakin aku takut kehilangan. Semakin aku ingin marah semakin aku takut semua kan berakhir. Sementara aku hanya insan biasa. Bisa sakit. Bisa mendendam. Tapi aku bisa apa ? selain diam ?!
“knapa kau diam Hans ? Pergilah !” suara Kinar datar
DAMN ! aku memaki diriku sendiri dalam hati. Bahkan perempuan yang sanggup mengkhianatiku pun menyuruhku pergi. Sehebat itu kah rasa cintaku ? tak ada kah tersisa rasa cinta dalam diri Kinar ? kata maaf yang kuharapkan tak pernah terucap. Rasanya mengharapkan ia memohon untuk memperbaiki hubungan ini kembali juga akan bertepuk sebelah tangan.
“knapa ? sudah tidak suka dengan kehadiranku ?” suaraku sesak
Kinar menundukkan kepala. Rambutnya menutup sebagian wajah cantiknya.
“apa lagi yang kau harap ?” tanyanya masih datar
Ntah kenapa, aku merasa semakin terdesak dengan pertanyaannya. Di satu sisi aku sangat mengharapkan Kinar kembali di pelukanku. Namun di sisi lain, ego memaksaku untuk tidak mengungkapkan itu.
Kinar tersenyum, “aku sudah mengkhianatimu. Tidak ada yang bisa mencegah itu terjadi. Menyalahkan keadaan juga tak mungkin. Kenyataannya banyak hal yang membuatku tak bisa menghindarinya...”
“aku sadar sakit hatimu...tak ada yang bisa kita perbuat selain berjalan di jalan masing-masing...” lanjutnya