Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Senyum di Antara Rinai Hujan

19 Juli 2016   15:08 Diperbarui: 19 Juli 2016   16:01 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mengantar anak di Hari Pertama Sekolah (sumber:dokpri)

“Karena itulah...kerjasama ibu dan kamu yang akan menguatkan langkahmu menggapai cita-cita...”

Deru sepeda motorku menembus derasnya hujan dan macet jalanan. Semuanya kami tempuh dengan euforia yang teramat sangat. Anakku tak sabar bersua dengan teman-temannya serta menempati bangku dan kelas yang baru. Aku juga tak sabar bertemu dengan guru-guru sekolah yang selama ini telah membantu mendidik anakku. Rasa terimakasih dan penuh harapan ingin kusampaikan pada sosok guru.

Anakku jelang berangkat sekolah (sumber:dokpri)
Anakku jelang berangkat sekolah (sumber:dokpri)
Sampai di gerbang sekolah, kulihat semuanya nampak serba terburu-buru. Anak-anak sekolah berlarian terburu-buru masuk ke kelasnya masing-masing. Beberapa orangtua juga terlihat hanya bisa mengantar di gerbang saja. Mungkin karena hujan deras yang mengguyur, jadi guru-guru juga tak menyambut dengan bersalam-salaman seperti biasanya. Meski ada juga orangtua yang tak sanggup membiarkan anaknya masuk sendirian ke dalam lingkungan sekolah. Kebanyakan mereka adalah orangtua anak-anak kelas 1 SD (yang baru masuk SD) sehingga masih “asing” dengan sekolah barunya.

Tak mengapa hujan deras mengguyur. Tak mengapa tak ada ritual bersalam-salaman antara guru, murid dan orangtua. Lebih dari itu semua, secara mental anak tetap merasa “bangga” ketika datang bersama orangtuanya. Anak merasa “beruntung” saat diantar orangtuanya dan itu adalah modal besar bagi anak untuk dapat melewati harinya di sekolah dengan baik.

Anakku turun dari boncengan sepeda motor. Meraih jemariku dan menciumnya serta melekatkannya di dahinya. Aku tersenyum dan mengelus kepalanya yang berbalut jilbab putih sembari berujar dalam hati “belajar ya nak...baik-baik di sekolah...”

Tak berapa lama, beberapa teman-teman sebayanya yang pernah satu kelas di kelas tiga mengerubunginya sambil menggandeng tangannya dan berceloteh tentang liburan dan kelas baru mereka. Anakku terlihat ramah. Ada rasa percaya diri terlihat dalam dirinya. Bagiku, gambaran sikap bersosialisasi seperti ini sangat penting, sebab anak akan belajar bagaimana harus bersikap ketika berhadapan dengan banyak orang dengan banyak karakter. Sikap yang bersahabat dan saling menghargai selalu aku tekankan pada anakku. Selalu berpikir positif namun tetap waspada dalam bergaul adalah kunci agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas.

Aku juga sempat bercengkerama sebentar dengan wali kelas anakku, yang kebetulan aku kenal. Tak lama kami berbincang di luar gerbang, namun sungguh memberi sugesti positif padaku. Semakin tenang hati ini memulai babak baru masa depan anakku. Semakin lega juga karena aku bisa mengantar anakku di hari pertamanya sekolah serta mendampinginya bertemu teman-temannya dan gurunya meski terbatas oleh hujan deras.

Komunikasi yang baik antara orangtua dan guru memiliki andil yang besar dalam kelancaran proses belajar mengajar. Bukan saja memperoleh manfaat informasi-informasi yang bersifat wacana tapi juga dapat membangun chemistry antara guru dan orangtua sehingga dapat terjalin kerjasama dengan baik dalam proses pendidikan anak-anak. Sebab bagaimanapun pendidikan anak di sekolah bukan saja menjadi tanggungjawab guru semata tapi juga orangtua.

Senyum Manis Diantara Rinai Hujan semoga menjadi awal yang baik bagi masa depannya (sumber:dokpri)
Senyum Manis Diantara Rinai Hujan semoga menjadi awal yang baik bagi masa depannya (sumber:dokpri)
Aku mengakhiri obrolan dan bersalaman serta tak lupa menunjukkan itikad baik berterimakasih serta memohon izin kesediaan guru untuk menerima dan membantu mendidik anakku selama di sekolah. Upaya itu kulakukan karena aku sangat menghormati sosok guru dan percaya bahwa seorang guru adalah sosok pahlawan tanpa tanda jasa.

Lima belas menit berlalu, aku masih menunggu anakku sampai ia tak terlihat lagi dari balik pintu gerbang.

Ketika aku akan membalikkan sepeda motorku dan bersiap pulang, tiba-tiba sosok mungil berdiri di sisi pintu gerbang, seorang diri. Ia memanggilku :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun