Meski panas terik cukup menyengat, tapi saya tetap bersemangat. Saya melanjutkan langkah kaki, singgah di Sulawesi Utara. Di atas tugu pintu masuknya saya melihat ada patung burung Hantu dan koridor menuju areal rumah adat. Berdekatan dengan Sulawesi Utara adalah anjungan Sulawesi Tengah.
Kemudian saya lanjutkan lagi ke Sulawesi Selatan yang memiliki bentuk rumah adat yang sangat unik. Atapnya menjulang tinggi dan bawahnya ditumpu oleh batang-batang kayu. Ini termasuk rumah adat yang mudah dikenali karena keunikannya. Luar biasa.
Masih berdekatan dengan Sulawesi Selatan ada Sulawesi Tenggara dengan rumah adatnya yang berdinding kayu dan bertingkat-tingkat.
Meninggalkan Sulawesi, saya menuju ke Nusa Tenggara Timur dan lalu ke Nusa tenggara Barat. Hingga akhirnya sampai di Bali. Kalau Bali, tidak usah ditanyakan lagi, saya yakin siapapun akan langsung mengenali anjungan Bali dengan ciri khas bangunannya.
Di anjungan Bali ini saya disambut dengan patung-patung khas Bali, ukiran-ukiran bangunan khas Bali. Bahkan toilet yang tersedia di anjungan ini juga berarsitektur Bali. Lagi-lagi saya beruntung, karena kala itu tengah diadakan acara lomba menari Bali. Ada beberapa peserta penari yang sibuk mempersiapkan diri dengan mengenakan pakaian khas Bali, dan di panggung pentas para peserta penari dengan indahnya membawakan tari Bali dengan diiringi musik gamelan Bali. Suasana ini benar-benar membawa saya seolah-olah terbang ke Pulau Bali.
Saya sangat kagum dengan para peserta penari Bali ini. Di usia yang rata-rata masih belia ini mereka sangat piawai dalam membawakan tarian Bali. Ini salah satu bukti prestasi anak negeri yang seharusnya kita apresiasi.
Setelah begitu menikmati kesenian Bali yang sangat eksotis, saya lanjutkan lagi perjalanan ke anjungan berikutnya. Alangkah senangnya saya, ternyata anjungan kali ini adalah daerah asal saya yaitu Jawa Timur. Seperti sedang pulang kampung. Saya merasa tidak asing lagi berada di anjungan ini.
Apalagi di anjungan Jawa Timur ini juga sedang berlangsung acara lomba menyanyi lagu Jawa Timur dan pameran promosi produk Jawa Timur. Begitu senangnya, saya tak jarang ikut bersenandung Jawa Timuran, begini petikan liriknya ”ojo maido wong ndesoooo…”.
Kerinduan saya akan kampung halaman semakin memuncak saat melihat bangunan rumah adat Sumenep dan warung lesehan dengan menu makanan khas Jawa Timur seperti Rujak Cingur, Rawon, Pecel, dll. Dan saya pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di anjungan ini sambil menikmati nuansa dan masakan Rujak Cingur.
Teman saya yang asli orang Jawa Barat juga tak kalah antusias. Ia terlihat sangat menikmati setiap anjungan budaya daerah yang dikunjungi. Seperti di anjungan Jawa Timur ini, ia begitu banyak bertanya mulai dari apa itu Rujak Cingur, Sumenep itu dimana, apa arti syair lagu yang terdengar dinyanyikan oleh peserta lomba menyanyi, dll. Saya senang karena itu artinya ia tidak apatis. Ia peduli dan ia membuka diri terhadap budaya selain budayanya.
Setelah beristirahat dan menyegarkan badan, saya berjalan lagi ke anjungan DI Yogyakarta. Tadinya saya membayangkan di anjungan DI Yogyakarta ini akan banyak budaya khas yang ditampilkan. Namun sayang, begitu sampai, saya hanya disuguhi satu stan berjualan Gudeg (makanan khas DI Yogyakarta), selebihnya terlihat sangat sepi pengunjung. Setelah saya tanyakan pada penjaganya, ternyata anjungan ini memang sedang berada dalam tahap renovasi. Baiklah, semoga setelah renovasi selesai DI Yogyakarta dapat menampilkan potensi budayanya yang sangat khas dan terkenal.
Dari DI Yogyakarta beralih ke Jawa Tengah. Berbeda dengan DI Yogyakarta yang sepi, anjungan Jawa tengah ini sangat ramai dan meriah. Terdengar alunan musik Jawa tengah dan joget khas mereka. karena penasaran, saya pun masuk ke salah satu kerumunan orang. Wah, ternyata ada artis Yati Pesek yang selesai menampilkan kesenian Jawa Tengah dan kini sedang dikerubuti pengunjung untuk minta berfoto bersama. Tidak mau kalah, saya juga ikut berjabat tangan dengan beliau dan berfoto.