Subuh.
"Tari, ayo nak, cepat. Sudah hampir jam 05.00, segera ke pasar membeli soto untuk sarapan."
Aku sigap berlari mengambil uang di tangan ayah beserta rantang untuk wadah kuah soto. Tanpa menyisir rambut atau mengganti piama berlengan panjangku ini dengan pakaian yang lebih pas untuk pergi ke pasar aku segera saja menjalankan tugas rutinku setiap dua belas hari sekali selama tiga hari berturut-turut.Â
Terkadang aku pergi ke warung soto Cak Dudi yang ada di pasar di desa kecilku dengan mata yang masih mengantuk dan tubuh setengah malas.
Aku pergi sendirian dengan berjalanan kaki setidaknya 500 meter untuk perjalanan pulang dan pergi. Dalam perjalan tersebut, aku harus melewati kuburan desa serta menyebrang jembatan di sungai besar sebelum akhirnya sampai di pasar.Â
Setibanya di dekat kuburan, aku pasti akan langsung berlari sekencang yang aku mampu karena sesungguhnya aku takut setengah mati melihat tempat yang penuh bunga kamboja itu. Kekhawatiranku akan bertemu dengan para kuntilanak atau pocong selalu bergemuruh dalam jiwa ini.
Pernah pada suatu saat, aku tidak sengaja melihat salah satu tetangga yang rambutnya panjang sekali berjalan di depanku pas ketika di samping kuburan.Â
Aku sudah berpikir bahwa yang ada di hadapanku ini pasti sejenis hantu atau apalah itu yang jelas bukan manusia. Aroma wangi kamboja berwarna putih gading semakin membuat suasana menjadi horor.
"AAAAAaaaaaaaaaaa." Spontan aku menjerit panik.
"HAaaaaaaaaaaaa" Yang ada di hadapanku tiba-tiba berbalik badan sekaligus mengikuti perbuatanku. Maka kami berteriak bersama-sama.
Aku sudah hampir menangis dan kuah soto di tanganku ini telah siap terlempar ke arah kuburan.