Mohon tunggu...
Fiahsani Taqwim
Fiahsani Taqwim Mohon Tunggu... Penulis - :)

Penganut Absurditas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Gadis Pak Dosen

20 Maret 2021   09:00 Diperbarui: 20 Maret 2021   09:05 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hampir semua mata selalu melihat diriku dengan penuh kagum dan hormat. Paras timur tengah yang tegas yang diturunkan oleh para leluhurku ini membuat banyak orang di sekitarku beranggapan bahwa aku cukup cantik. Alis tebal, kulit putih, dan hidung yang menonjol adalah aset fisik yang sangat aku syukuri.

Aku begitu populer di kalangan para mahasiswa di universitas tempatku menempuh pendidikan S1. Selain karena nilai indeks prestasiku yang pasti di atas angka 3,5  di tiap semester, aku juga tersorot lantaran Papaku adalah seorang dosen sekaligus pejabat di kampus ini. Aku beberapa kali mendapatkan perlakuan khusus lantaran statusku sebagai anak Papa. Hampir setiap pegawai di kampus ini mengenaliku dan akan terus memandangku dengan tatapan penuh keseganan. Terkadang, aku berangkat kuliah dengan menumpang di mobil Papa. Beliau akan mengantarku hingga di depan fakultas dan membiarkan setiap mata mengetahui hubungan kami.

Aku mencintai Papaku sama baiknya seperti beliau mencintaiku. Papa sangat menyayangiku melebihi kedua kakak lelakiku.

"Aku jelas anak kesayangan Papa." Begitu ujarku kepada kedua abangku saat mereka menggoda dengan mengatakan bahwa Papa tidak senang dengan sikap manjaku.

"Papa tidak sudi punya anak gadis yang menja sepertimu, Dik." Kata abangku yang paling tua.

"No, Papa tidak akan merasa menjadi Papa sejati bila Papa tidak memiliki anak gadis macam aku. Papa bilang padaku bahwa Papa benar-benar merasakan sensasi menjadi seorang Papa setelah aku lahir. Iya kan Pa ? " Kataku sembari menghampiri Papa dan meminta untuk dibela.

Papa cuek saja melihat tingkah laku para putra-putrinya. Tanpa perlu diperdebatkan sebetulnya, aku dan kami semua tahu bahwa Papa sangat mencintaiku sebagai anak gadis satu-satunya, paling bungsu pula. Tak hanya kami sekeluarga, semua orang pun dapat melihat bahwa aku adalah anak kesayangan Papa.

***

Hampir semua mata selalu melihat diriku dengan penuh kagum. Kehidupanku yang tampak bahagia dan nyaris sempurna membuat orang lain menjadi terpesona dan menginkannya. Aku berangkat menuju kampus menagendarai mobil pribadi dan mengenakan pakaian yang pantas. Sebagai mahasiswi fakultas kedokteran, penampilan menawan adalah sebuah kepentingan, bahkan bisa dianggap sebagai sebuah keharusan, hingga kebutuhan.

Aku kerap melihat para adik dan kakak kelas memandangiku dengan takjub dan penuh hormat. Mereka seolah sangat ingin memujiku setiap saat. Itu membuat kepercayaan diriku tetap terjaga dengan stabil. Akan tetapi, itu hanyalah masa lalu. Sekarang, semuanya telah berubah sejak majalah kampus menuliskan berita miring tentang Papaku. Para mahasiswa yang bergabung dengan majalah itu, ah, mereka adalah penyebab kehancuran hidupku. Bukan aku saja, mereka juga menjadi dalang atas kacaunya hidup Mama, Papa, dan kedua Abangku.

"Za tidak percaya dengan berita ini Pa. Kenapa harus seperti ini." Aku menangis histeris di depan Papa beberapa jam setelah aku membaca sebuah headline di halaman paling depan majalah kampus yang memakai nama Papaku sebagai judulnya.

Papaku hanya mematung dan ia tampak sama histerisnya denganku. Akan tetapi, dia diam saja dan tidak berteriak-teriak sepertiku.

Aku makin emosional melihat Papa yang mematung dan tidak memberiku penjelasan. Aku segera pergi dari rumah sambil terus menggenggam majalah itu. Aku memacu mobilku menuju sebuah rumah kontrakan seorang kakak tingkatku di universitas yang juga merupakan pengagum Papaku. Tanpa perlu menghubunginya, aku yakin dia pasti ada di dalam rumah kontrakannya yang berdebu dan kumuh.

Setibanya di rumah kecil itu, aku segera menggedor pintu dan berteriak memanggil nama orang yang hendak kutemui. Sore itu, aku ingin melampiaskan segala amarahku padanya.

"Zahra." Akhirnya dia muncul juga. Lelaki ini adalah mahasiswa jurusan ilmu politik yang sangat mengidolakan Papa. Dia pernah bilang padaku bahwa tidak ada dosen di kelas ilmu politik yang sehebat papaku. Dia sering keluar dari ruang kerja Papa saat jam telah menunjukkan pukul 00.00. Papa dan Edi betah sekali berbincang tentang berbagai kebijakan politik atau sekedar kisah kelam para politisi negeri ini di rumah keluarga kami hingga lupa waktu. Seringkali aku mendapati Edi mencuri-curi pandang ke arahku yang hanya mengenakan piama tipis untuk menunjukkan bahwa betapa menariknya diriku di matanya.

"Bajingan." Aku berteriak lemas sambil berusaha memukul seluruh bagian tubuhnya. "Siapa yang membayar Abang untuk menulis segala berita tentang Papaku."

Aku terus berteriak histeris. Air mata dan air ludahku membasahi wajah timur tengahku yang cantik ini. Si mahasiswa jurusan ilmu politik di hadapanku tampak tidak sanggup melihat kesedihanku. Dia segera memelukku dengan erat. Maka menangislah aku di pelukannya selama beberapa saat.

"Bang Edi jahat sekali. Apa salah Papaku, Bang?"

"Aku hanya ingin mengungkap kebenaran Za."

"Memangnya Abang pikir, Abang ini siapa sampai berani-beraninya mengungkap kebenaran." Mendengar jawabannya yang sok suci itu amarahku naik lagi.

"Za."

Tanpa basa-basi lagi, aku membuka semua kancing kemeja warna hijau tuaku yang merupakan hadiah ulang tahun dari Mama. Berikutnya, aku lepas perlahan rok span hitam kesanyanku ini. Selanjutnya aku tanggalkan satu persatu pakaian dalamku hingga benar-benar telanjang di depan Edi. Setiap hari, aku menyadari bahwa betapa indahnya tubuhku ini.  

"Ayo Bang. Lakukan sesuatu padaku. "

"Zahra, apa maksudmu? "

"Tak usah bergaya polos. Aku tahu Abang sudah lama ingin meniduriku. Ayo, lakukan saja sekarang. Sentuh aku sepuasmu !!!"

Edi hanya menatapku prihatin. Aku tahu sebetulnya dia sangat histeris. Akan tetapi, sama persis seperti Papa, lelaki itu menunjukkan histerianya dalam kegemingan.

Aku memaksanya menyentuh tubuhku agar aku juga bisa menulis sebuah artikel investigasi tentang seorang akademisi di kampusku yang tega menyetubuhi salah satu mahasiswi kedokteran. Aku ingin sekali membayar tuntas apa yang telah ia lakukan pada Papaku, juga keluargaku. Setelah selesai menulisnya, aku akan langsung mengirimnya kepada tim editor majalah kampus sialan itu.

"Tenanglah dulu." Edi berusaha meraih tanganku yang masih terus memegang majalah kampus yang sejak dari rumah tidak lepas dari genggamanku. Di halaman paling depan terpapar jelas berita mengenai seorang pejabat universitas yang juga merupakan dosen ilmu politik tega melakukan pelecehan seksual kepada beberapa mahasiswinya.

Detik itu rasanya aku ingin mati saja. Sebab seharian ini, tidak ada lagi tatapan penuh pesona atau kehormatan yang tertuju padaku. Aku hanya mendapati bahwa setiap orang melihatku dengan penuh kekesalan dan jijik. Aku ingin segera bunuh diri ketika artikel tentang Edi yang meniduriku telah selesai kutulis dan diterbitkan oleh majalah kampus. Akan tetapi Edi tidak kunjung menyentuhku. Dia masih melihatku dengan penuh rasa kasihan.

"Apalagi yang kau tunggu Bang. Tidak maukah meniduri gadis secantik aku ini? Hidupku akan segera hancur gara-gara Abang."

Edi yang gagal meraih tanganku akhirnya menyelimutiku dengan sarungnya yang bermotif Bunga Raflessia.

                                                                                                                         Sidoarjo, 14/11/19

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun