"Ayo Bang. Lakukan sesuatu padaku. "
"Zahra, apa maksudmu? "
"Tak usah bergaya polos. Aku tahu Abang sudah lama ingin meniduriku. Ayo, lakukan saja sekarang. Sentuh aku sepuasmu !!!"
Edi hanya menatapku prihatin. Aku tahu sebetulnya dia sangat histeris. Akan tetapi, sama persis seperti Papa, lelaki itu menunjukkan histerianya dalam kegemingan.
Aku memaksanya menyentuh tubuhku agar aku juga bisa menulis sebuah artikel investigasi tentang seorang akademisi di kampusku yang tega menyetubuhi salah satu mahasiswi kedokteran. Aku ingin sekali membayar tuntas apa yang telah ia lakukan pada Papaku, juga keluargaku. Setelah selesai menulisnya, aku akan langsung mengirimnya kepada tim editor majalah kampus sialan itu.
"Tenanglah dulu." Edi berusaha meraih tanganku yang masih terus memegang majalah kampus yang sejak dari rumah tidak lepas dari genggamanku. Di halaman paling depan terpapar jelas berita mengenai seorang pejabat universitas yang juga merupakan dosen ilmu politik tega melakukan pelecehan seksual kepada beberapa mahasiswinya.
Detik itu rasanya aku ingin mati saja. Sebab seharian ini, tidak ada lagi tatapan penuh pesona atau kehormatan yang tertuju padaku. Aku hanya mendapati bahwa setiap orang melihatku dengan penuh kekesalan dan jijik. Aku ingin segera bunuh diri ketika artikel tentang Edi yang meniduriku telah selesai kutulis dan diterbitkan oleh majalah kampus. Akan tetapi Edi tidak kunjung menyentuhku. Dia masih melihatku dengan penuh rasa kasihan.
"Apalagi yang kau tunggu Bang. Tidak maukah meniduri gadis secantik aku ini? Hidupku akan segera hancur gara-gara Abang."
Edi yang gagal meraih tanganku akhirnya menyelimutiku dengan sarungnya yang bermotif Bunga Raflessia.
                                                             Sidoarjo, 14/11/19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H