Mohon tunggu...
Fiezu Himmah
Fiezu Himmah Mohon Tunggu... Penulis - Kadang di medium, kadang di Indonesiana, kadang nggak di mana-mana juga. Anak baru di sini.

-Dari, karena, dan untuk menulis aku hidup.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Konstruksi Kecantikan dan Kompleksitas Emosi pada Monolog Nala

21 Desember 2023   01:12 Diperbarui: 21 Desember 2023   01:20 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi (Momen Latihan)

Suara pedihnya nasib perempuan bergema di panggung teater. Ketidakadilan yang melibatkan konsep kecantikan, hadir ibarat pukulan telak yang menggugat esensi peran perempuan dalam masyarakat kita. Demi mereka yang masih terperangkap dalam stereotip dan diskriminasi, apakah pesona dan keindahan akan terus-menerus hanya menjadi berkah bagi orang tertentu? 

Festival Kelas Titimangsa telah menggelar sepuluh pertunjukan di Gedung Pertunjukan Bulungan pada 2 dan 3 Desember 2023. Acara tersebut merupakan puncak dari serangkaian kegiatan kelas seputar seni pertunjukan yang telah diadakan Titimangsa selama satu tahun terakhir. 

Salah satu yang menjadi sorotan ialah monolog berjudul "Nala, Tak Ada Tempat Untuknya", dimainkan oleh Cres Centia Kunti Dewanggani. Naskah ini karya Iswadi Pratama, yang juga berperan sebagai sutradara dan pengajar di kelas akting Titimangsa.

Konstruksi Sosial yang Tak Kelar-Kelar

Panggung dibuka dengan kehadiran seorang perempuan menggunakan gaun bernuansa putih, dengan rambut tergerai. Dialah Nala, yang tengah berada di ruang tamu cukup luas, bersama kanvas dan meja kecil tempat peralatan melukis. 

Awalnya, penampilannya memancarkan keanggunan yang lembut, tapi ternyata itu hanyalah ilusi. Perempuan itu bukanlah Nala sejati, melainkan penampilan Sabana, saudara perempuannya yang dianggap memiliki pesona lebih tinggi. Gaun yang dikenakan adalah hadiah dari Tebing, lelaki yang dicintainya namun justru mencintai Sabana.

Monolog ini menggambarkan konflik batin perempuan yang terluka akibat konstruksi sosial. Ketidaksetaraan gender yang dialaminya membuatnya sangat menginginkan diakui dan dicintai. 

Nala ialah korban yang terkekang oleh standar kulit putih, kelembutan, keharuman tubuh, dan aspek lain, yang seakan menjadi kewajiban perempuan. Ironisnya, konstruksi ini ditanamkan oleh orang tuanya. Ia tak hanya mengalami stereotipe, bahkan juga kekerasan. Ayahnya pernah memukulnya hanya karena sendawa di depan tamu.

Nala pun berjuang keras agar mampu sesuai dengan harapan sosial, mengejar standar kecantikan yang merugikannya. Ia terperangkap dalam perbandingan dengan Sabana, sampai mempertaruhkan keasliannya. Nala menyadari ia tak ingin kehilangan diri, namun konflik memuncak saat ia semakin sadar bahwa Tebing tak akan pernah merasakan hal yang sama terhadapnya. Ia semakin terpuruk, merasa bahwa dirinya tidak memiliki tempat yang mau menerimanya di dunia ini. 

“Setiap perempuan itu cantik. Seorang perempuan dia juga harus merasa istimewa dengan dirinya sebagaimana dia adanya. Konstruk sosial sering membuat perempuan yang dianggap tidak dalam kriteria, merasa tidak berhak. Cantik itu sesuatu yang esensial, yang hakiki. Namun sayangnya nilai cantik dari dalam diri yang dibawa secara primordial, kalah oleh konstruk sosial, seperti harus tinggi, mancung, dan sebagainya,” ujar Iswadi selaku penulis naskah dan sutradara saat ditemui.

Lalu, mengapa monolog Nala saat ini perlu dihadirkan? Bukankah telah banyak gerakan serupa yang memperjuangkan kesetaraan gender? Faktanya, tren kejahatan dan kekerasan terhadap anak, terutama perempuan, masih mengkhawatirkan di Indonesia. Data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri menunjukkan angka yang masih berfluktuasi. Tercatat, lebih dari 800 kasus per bulan selama Januari-Juli 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun