Simbolisme properti dalam pertunjukan teater menjadi elemen kunci yang dapat memperkaya pengalaman penonton. Properti dalam monolog ini ialah salah satu hal yang sangat menarik. Bukan hanya sekadar objek fisik atau dekoratif yang memperindah panggung, namun kuat makna dan penggunaan. Masing-masingnya berhasil membantu memperdalam dimensi emosional, psikologis, dan filosofis dari cerita. Beberapa di antaranya:
1. Kain UlosÂ
Ada tiga macam kain Ulos yang digunakan monolog ini, yaitu Sibolang, Ragi Hotang, dan Sadum. Ulos merupakan kain tenun khas Batak yang memiliki makna di setiap jenisnya. Ulos resmi ditetapkan sebagai warisan kebudayaan tak benda nasional sejak 17 Oktober 2014. Pada babak pertama terlihat kain Ulos Sibolang dengan paduan warna biru dan hitam dikenakan Dainang. Dalam masyarakat Batak, Ulos ini biasanya dapat dipakai saat kedukaan sebagai simbol duka cita.Â
Berikutnya ada Ulos Sadum yang ditenun Dainang untuk hadiah proses mangulosi pernikahan Butet, anak perempuannya. Coraknya penuh warna meriah. Dalam masyarakat Batak dapat dipakai untuk suasana suka cita. Meskipun dalam monolog ini kemudian Butet menolak pemberian ibunya.
Terakhir, terdapat Ulos Ragi Hotang yang bermakna sebuah harapan agar ikatan batin dapat teguh seperti rotan. Pada zaman dahulu, rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Ulos Ragi Hotang dalam monolog ini sering digunakan Dainang sambil merindukan anak-anaknya. Ia memeluk erat Ulos itu dengan harapan hubungan mereka dapat kembali kuat.
3. Ranjang Bambu
Jika ranjang bambu biasanya hanya berperan sebagai tempat tidur, menariknya ranjang bambu di sini menjadi multifungsi. Aktor mampu menyesuaikan fungsinya sesuai dengan cerita yang sedang disampaikan.Â
Misalnya, saat Dainang menceritakan suaminya tengah kritis di rumah sakit. Dengan lihai, aktor menaiki ranjang, lalu merepresentasikannya sebagai kamar rumah sakit. Pada adegan selanjutnya, ranjang tersebut tiba-tiba berubah dijadikan mesin tenun. Ada pula adegan saat Dainang meletakkan ranjang di punggungnya, menggambarkan beratnya beban hidup yang ia hadapi. Terakhir, ranjang itu digunakan sebagai representasi kuburan Dainang yang meninggal di usia tua.Â
Bagaimana bisa aktor menyampaikan makna yang beragam menggunakan satu objek saja? Hal ini berkaitan dengan kecerdasan sutradara dalam menata bentuk yang tepat dan memberikan arahan pada aktor. Sisca juga menyampaikan bahwa komunikasi bersama penulis naskah sangat membantunya untuk melayani naskah dengan benar. Selain itu, peran sutradara dalam memberikan masukan, terutama dalam hal laku fisik dan pemahaman subteks, juga sangat penting.
Hadirnya Penulis Lakon Perempuan
Rangkaian pesan cerita dan simbolisme yang menarik, memang tak lepas dari peranan hebat penulis naskah. Fera dan Tiyni mengaku sejak awal telah bersepakat untuk berkolaborasi menulis, salah satunya atas dasar kecintaan yang sama pada suku Batak. Semangat mereka berhasil membuahkan karya yang tajam dan emosional, menambah warna dari penulis perempuan muda Indonesia.Â
Iswadi Pratama sebagai sastrawan dan seniman teater yang telah menggeluti proses panjang dalam seni pertunjukan Indonesia, sangat mengapresiasi naskah ini, bahkan semua karya dari peserta kelas naskah Titimangsa.Â