Mohon tunggu...
Fidia Wati
Fidia Wati Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cerita khas emak emak http://omahfidia.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surga yang Tercabik

24 Januari 2017   14:20 Diperbarui: 24 Januari 2017   14:25 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ibu ingin menjadi TKW di Malaysia…..” Aku terhenyak membaca pesan singkat ibu. Hatiku serasa diremas, sakit! Aku tak tahu….kenapa ibu terus melancarkan aksinya. Belum selesai masalah satu, dia sudah membuat keonaran lain. Memikirkan ibu, membuat kepalaku menjadi pening.

“Ingat umur, bu, ibu sudah tak muda…apalagi yang ibu cari?” aku membalas pesannya.

“Ibu ingin punya uang banyak, ibu tak ingin merepotkan kalian. Ibu tak ingin seperti simbahmu yang meninggal dan tak memiliki apapun.” Aku merenung, membaca balasan ibu.

Sebagai sesama perempuan, aku mencoba memahami alasan ibu. Tapi..logikaku tak bisa menerima. Alasannya tak masuk akal. Ibu selalu merasa kekurangan. Padahal, untuk hidup di desa, seorang diri dengan uang pensiun bapak,sekitar 1.3 juta bisa berlebih. Belum lagi uang belanja dari kakak sekitar 20 ribu rupiah selain beras, minyak gula, gas dan lain-lain, semua terpenuhi. Sedangkan aku, tetap memberinya uang.

Tetapi…ibu tetap saja mengeluh. Hutangnya makin hari makin banyak. Kami tak tahu…uangnya untuk apa?. Aku sempat sewot saat berhadapan dengan bank titil, Rasanya mereka ingin ku gerus, mereka terus merayu ibu supaya berhutang. Satu hutang tertutup, tumbuh lagi. Aku seperti seorang detektif menguntit gerak gerik ibu. Tapi ibu terlalu lihai, dia pandai menutupi.

“Ibu….tidakkah ibu capek, terus menerus hutang. Untuk apa sih bu? Bukankah..kami tak pernah merepotkan ibu?” kataku keras, sewaktu menemukan hutang ibu sebesar 80 juta. Padahal belum tiga bulan hutangnya telah kami lunasi. Ibu tak pernah mengaku, dia selalu mengelak saat kami cecar.

Di rumah, perabotan tak bertambah, justru berkurang, tanpa setahu kami, ibu menjual perabotan seperti dipan jati. Rumah kami termasuk luas, ada dua rumah dengan dapur besar. Rumah itu diperuntukkan untuk aku dan kakak. Sayangnya kami tak ada yang tinggal di situ. Kami memilih membangun rumah sendiri.

Aku makin tersudut. Dimanakah uang yang ibu pinjam? Apakah ibu memiliki kekasih? Tiba-tiba instingku mengarahkaku ke situ. Tapi aku tidak punya clue. Ibu memang pernah bercerita kepadaku, ada seseorang yang ingin meminangngnya. Aku ingin berkenalan. Biar tahu apakah dia layak untuk ibu atau tidak. Meskipun hatiku berat melihat ibu menikah lagi. Tapi…..aku mengerti perasaannya. Dia mungkin kesepian, tak ada yang menemani. Ibu memang susah di mengerti. Saat aku tawarkan untuk tinggal di rumah, ibu menolak. Saat kakak menawarkan pembantu untuk menemaninya, diapun menolak. Kasihan uangnya, katanya. Ya sudah, kami menuruti kemauan ibu.

Aku menunggu,,,,,kakak juga sudah setuju, apabila ibu menikah lagi. Tetapi….lelaki itu tak pernah datang. Sampai akhirnya aku mendengar selentingan kabar soal lelaki yang sering mengunjungi ibu? Siapakah dia? Apakah dia single, agamis, ramah dan suka melucu seperti almarhum bapak? Aku masih belum punya jawaban.

Suatu hari, Ibu menginap di rumah. Ada yang berbeda kali ini. Ibu tak bisa lepas dari yang namanya ponsel. Dari pagi sampai malam, tangannya sibuk terus menyentuh tuts tutsnya. Kecurigaanku muncul. Diam-diam aku mulai mencari info lewat sodara yang dekat dengan ibu.

Saat ibu pulang, aku meminta kakak untuk datang ke rumah tetangga, dimana ibu sering membeli pulsa. Di situ mulai terungkap, ibu sering membelikan orang itu pulsa. Tanganku gemetar memencet tombol nomornya.

‘Halo….dengan siapa ini” suara lelaki terdengar, menjawab teleponnku. Aku pura-pura merayunya. HAH!!! Lelaki itu gampang sekali tertipu. Pikirku dalam hati.

Setelah itu, dia mulai sering mengirimiku pesan, perutku mual. Aku menelponnya.

“Apakah bapak tahu, siapa saya. Perkenalkan saya Eliana, anak ibu Risma, perempuan yang dekat dengan bapak. Saya minta, silahkan bapak menikahi ibu saya, kalau tidak, tolong di tinggalkan ibu” kata saya keras. Lelaki di seberang itu tak menjawab.

“Ya ampun, ibu anda sudah tua, lagipula saya sudah punya istri dan dua anak” suaranya sedikit bergetar.

“Nah..kalau sudah tahu, kenapa masih merayu ibu, apa tidak kasihan anak dan istri bapak, di nafkahi dengan harta hasil menipu.” Jawabku pedas. Emosi mulai menguasaiku. Kemudian lelaki itu menutup telponnya. Aku mulai gemas dan ingin segera melemparnya dengan telur busuk. Bayangkan saja, umurnya masih seumuran kakak. Dia pantas menjadi anak ibu.

“Mba….apa perlu kita pukuli saja orang itu…!!” kata sodara sepupuku. Aku melotot. Gila aja, mukulin seseorang. Bukan dia saja yang bonyok, kita juga berabe. Aku tak setuju.

Esoknya…..aku di telpon ibu, ibu marah besar, mengetahui aku menelpon kekasih gelapnya.

“Sadar bu, dia lelaki jahat, yang hanya memanfaatkan ibu.Kalau ibu mau menikah, silahkan, asal jangan dengan orang itu!! Ibu tetap tak terima. Sejak saat itu hubungan kami putus. Ibu tak mengijinkanku datang menengoknya. Apakah mereka masih berhubungan apa tidak. Aku tidak tahu.

Jember 24 Januari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun