Mohon tunggu...
Fidia Wati
Fidia Wati Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cerita khas emak emak http://omahfidia.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nak, Menjadi Guru Itu Tak Mudah!

2 Juli 2016   12:31 Diperbarui: 4 Juli 2016   08:56 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA Lamber Klau (34) guru bidang studi ekonomi pada SMA Sta Maria Ratu Rosari Besikama, Kabupaten Belu, NTT

Beban guru itu berat.

Ya! Karena saya pernah merasakan gimana beratnya beban seorang guru. Meskipun saya tak pernah mengajar di sekolah. Tetapi, anak saya pernah menjalani Homeschooling. Otomatis kami,orangtuanya yang bertanggung jawab penuh mengajari anaknya.

Dan, jangan salah! itu nggak mudah lho. Kita di tuntut untuk semangat, supaya anaknya juga semangat belajar. Hari-hari,tak selalu mulus. Kadang, mood kita buruk karena ada masalah di rumah, belum lagi pekerjaan rumah yang menumpuk. Sedangkan Anak tak mau mengerti. bukannya belajar, malah maunya bermain melulu. Sedangkan target kudu di kejar.

Otak ini, terus diajak berpikir keras mencari solusi,bagaimana supaya bisa mengajar lebih efektif, dan anak senang menjalaninya. Jujur, saya pernah mengalami rasa frustasi,namun karena demi anak, ya saya lakukan apapun resikonya. Intinya harus sabar dan sabar.

Itu, Baru satu anak!

Lantas, bagaimana bila saya menjadi guru beneran? Dengan banyak anak dengan berbagai karakter dan latar belakang yang berbeda? hmmm.... mungkin saya harus punya kotak penyimpan kesabaran dan pil anti stress. Apalagi, anak-anak sekarang lebih menantang. Selain keberanian, pemikiran lebih kritis, pun tingkah mereka membuat hipertensi kita sebagai orangtua. Dan itu,menjadi tantangan guru sekarang!

Herannya, masih banyak orangtua yang menyerahkan sepenuhnya, pendidikan anak pada sekolah. Sedangkan, mereka sendiri sibuk bekerja tanpa peduli anaknya bagaimana. Saat, anak tak bisa apa-apa atau ada masalah dengan anaknya baru deh mencari kambing hitam. Tanpa mau intropeksi. 

Cerita Anak Saya

Suatu hari, sepulang sekolah, anak saya mengeluh teliganya sakit bila dipegang. Aneh, waktu berangkat sekolah tadi tak apa-apa. Kemiduan saya cek telinga kanannnya. Dan saya kaget sewaktu melihatnya. Telinganya merah! Hmm.. tetapi suhu badannya tak panas. Perasaaan ini jadi khawatir.

Setelah saya desak, barulah dia bercerita, kalau tadi disekolah dia dijewer oleh Kepala Sekolah. Bukan hanya dia saja, tetapi, sebagian kelas. Gara-gara kelamaan di masjid, waktu sholat dhuha, akhirnya terlambat masuk kelas. Saya tersenyum, memberi dia pengertian, kalau memang itu karena kesalahannya dia sendiri. Biarlah itu sebagai pelajaran buatnya.

Ada juga, guru yang sukanya marah-marah. Anak didik nggak bisa, marah. Tanpa mencari solusi, bagaimana supaya anak didiknya enjoy belajar. Tiap hari dijejali PR banyak. Lah.. kapan anak bisa menikmati dunianya. Bermain? Hasilnya, anak saya sempat down, dan mulai enggan sekolah. Ketika salah satu gurunya emotional tingkat dewa. 

Hal ini, sempat membuat saya khawatir dan ada keinginan melakukan aksi protes pada Kepala Sekolah. Sebab,wali murid lainn pun mengalami hal sama. Untungnya, niat itu saya urungkan. Saya merenung dan memposisikan diri saya sebagai guru tersebut. "Oh....mungkin dia lelah dan terlalu banyak beban di pundaknya". 

Tak semua guru, menerima gaji yang pantas. Apalagi guru honorer. Duh, tak cukup beli beras sebulan. Dan hebatnya,mereka masih tetep mau menjadi guru.

Bersyukur, anak saya ceria lagi setelah diberi pengertian.

Pikir Dulu Sebelum Bertindak

Akhirnya, pelaporan guru karena “mencubit” muridnya menghentak pemikiran saya. Karena itu bukan salah satu solusi. Malah membuat masalah baru bagi orang tua dan anak. Anak akan menjadi lembek, dan akan bertindak semena-mena nantinya. Sebab, dia akan berpikir orangtuanya akan selalu melindunginya. Dia takkan pernah belajar dari kesalahannya. Maukah anak kita seperti itu?

Pun, begitu sebagai guru. Kita harus benar-benar bisa menahan emosi. pikir dulu sebelum bertindak. Jangan langsung kalap melihat anak didik “yang diluar harapan”. Karena, kita tak tahu cerita di balik semua itu, apakah mereka melakukannya karena emang dari sononya begitu. Atau hanya sebagai aksi protes mereka? Sebab,anak lebih senang diajari dengan cinta, dari pada dengan kekerasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun