Aku kasihan melihat Mas Lucky. Badannya semakin kurus. Ia pontang panting bekerja serabutan disela-sela kuliahnya demi menyambung hidup dan sekolah kami.
Donat jualanku dan Bik Sulis hanya cukup untuk makan. Sesekali kami mendapat uang lebih apabila ada yang pesan kue. Uangnya kata Mas Lucky buat ditabung saja buat biaya sekolah.
Lirih,semakin besar dan ceriwis. Dialah penghibur kami. Ketakutan kami dia akan menyandang cacat akibat ibu pecandu narkoba. Akhirnya luruh. Tubuhnya semakin bongsor untuk ukuran anak seusianya.Padahal makannya hanya berlauk krupuk sambel kadang tempe tahu.
Kemiskinan ternyata tak membuat keimanan kami makin memudar. Justru jiwa kami semakin tersadarkan Allah selalu bersama kami.
Aku juga tak peduli lagi dengan keberadaan Paman dan Bibi. Biarlah mereka dengan kehidupan dan kesibukan mereka sendiri. Mas Lucky mengajarkan kami supaya tak dendam, meskipun aku belum bisa melupakan kejadian buruk itu.
***
Bik Sulis
Aku tak mungkin meninggalkan Mas Lucky, Non Laras dan Non Lirih. Bahkan setelah kedua orangtua mereka meninggal.
Aku ikut membesarkan mereka bertiga seperti darah dagingku sendiri. Meskipun aku bukan ibu kandungnya.
Setelah ditinggal kawin oleh pacarku. Hidupku jadi tak berarti. Aku berniat bunuh diri dengan menabrakkan badan ke mobil yang lewat di jalan. Aku tertabrak mobil Pak Armand yang kebetulan melintas.
Sayangnya kematian belum berpihak kepadaku. Justru Pak Armand dan Bu Armand merawatku dengan baik sekali. Dan menawariku untuk tinggal dirumahnya.