Wajah wanita paruhbaya itu terlihat kusut, matanya tajam menyimpan amarah dan tekanan bathin yang luar biasa.
Wanita itu terus saja berbicara tiada henti, kadang dia menangis menceritakan kisah pilu hidupnya kemudian kata-katanya berubah menjadi amarah.
Kubelai kepalanya dengan lembut, untuk menenangkan amarahnya. Bukannya tenang, tanganku malah ditepisnya dengan kasar disertai omelan panjang tiada henti.
Aku berusaha untuk tegar, sampai dadaku sesak, hingga akhirnya aku tak kuasa lagi menahan airmata. Hati siapa yang tak sedih melihatnya.
Wanita paruh baya itu adalah ibuku. Sosok yang selama ini kurindukan,namun sepertinya diantara kami masih ada dinding kokoh karena kekerasan hati kami berdua.
Kucoba mengingat-ingat kenangan manis bersama ibu ketika aku masih kecil, namun entahlah...sepertinya memory manis itu tak pernah ada. Anehnya justru kenangan indah saat bersama ayah yang muncul. Kupinta otakku mencarinya lagi di tiap sudut file dan membacanya ditiap kata, namun sepertinya kenangan akan seorang ibu tak kutemukan.
Kemanakah sosok ibu? Kenapa tak meninggalkan kenangan manis samasekali dalam ingatanku?
***
Ibu adalah sosok wanita yang keras dan terkesan otoriter pada suami dan anak-anaknya. Setiap keinginannya harus dituruti.Maklumlah Ibu adalah anak tunggal. Sedangkan ayah sebaliknya, hatinya begitu lembut dan sangat penyayang. Beliau suka bercerita dan aku sangat suka sekali bermanja dengannya.
Tak pernah sekalipun Ayah protes ketika ibu memutuskan kerja ke luarkota sebagai penjahit. Karena gaji ayah sebagai guru honorer tak cukup untuk keperluan hidup sehari-hari. Akhirnya Ayah merawat Aku dan Kakak,kami berdua masih kecil, Kakak masih duduk di bangku SD sedangkan aku duduk dibangku TK.Hatiku sedih,beruntungnya kami tinggal bersama Simbah, sehingga aku bisa mencari sosok penggangi Ibu.Ibu jarang pulang, dikarenakan gajinya kecil yang cukup untuk membayar kontrakan dan biaya hidupnya sehari hari.
Sampai akhirnya Ibu menjadi TKW di Arab Saudi. Aku ingat saat itu,bagaimana hatiku dan kakak hancur ketika ibu berpamitan pada kami anak-anaknya. Simbah kakung sangat marah, beliau tidak setuju. Namun ibu masih bersikeras,sedangkan ayah sudah tak bisa menahannya lagi. Tekad ibu sudah bulat ingin merubah nasibnya
Ramadhan dan Lebaran adalah waktu yang berat bagi kami. Dimana Aku suka menangis diam diam, ketika melihat anak-anak bisa bermanja –manja dan pamer baju baru yang baru dibeli dengan ibu mereka. Sedangkan aku tak bisa. Ingin sekali kutanyakan pada Ayah,kapan ibu pulang dan berkumpul bersama kami? Namun pertanyaan itu hanya sampai di kerongkongan, ketika melihat kesedihan dimata Ayah. Akhirnya kesedihan itu ku telan sendiri sampai 11 tahun kemudian tanpa kehadiran sosok Ibu. Sampai aku merasa hambar akan cinta ibu.
Salahkah aku bila aku tak merasakan cintanya. Ketika orang lain memuja-muja ibunya, Aku malah memuja Ayahku, berlembar lembar bisa kutulis surat cinta untuknya,namun untuk ibu tanganku kaku.
Aku tak pernah membenci Ibuku, meskipun Beliau sudah memberikan ruang hampa pada sebagian hidupku. Aku tetap menghormatinya. Karena aku sadar. Karena sikap baik beliaulah aku ada di muka bumi ini dan bisa menghirup segarnya udara pagi serta indahnya bunga-bunga ditaman.
***
Ramadhan sebentar lagi usai. Aku ikhlas melepas rasa kecewa masa lalu pada Ibu, kuterbangkan bersama awan dan kuambil rasa cinta yang kupungut dari serpihan serpihan nisan Ayah. Dadaku lega,aku bahagia bisa memberikan rasa cinta pada Ibuku. Ibu yang akan kulindungi dan kukasihi, karena aku ingin RIDHO-NYA.
Seperti yang diceritakan oleh Eliana, seorang anak mantan TKW
Â
 sumber foto www.wordsonimages.com
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H