Akhirnya Fadel harus diberikan perawatan hingga dan pada akhirnya Fadel dapat bernafas kembali dan dipindahkan ke ruang ICCU RSCM selama kurang lebih 3 minggu untuk mendapatkan perawatan intensif. Sejak dari kejadian itu Fadel semakin sadar selain membatasi diri dalam olahraga, masih ada beberapa hal berbeda yang perlu dilakukan para penyintas thalassemia supaya tidak memperberat kondisi mereka. Konsumsi alkohol, rokok, dan makanan yang tinggi zat besi sudah jelas harus direm. Namun, tidak dipungkiri, beberapa penyintas masih sulit untuk taat dengan batasan yang ada. Tidak mudah untuk serba dibatasi dan berobat seumur hidup. Pada titik tertentu, semua penyintas mengalami pasang surut kejenuhan dan semangat hidup menurun. Di sinilah peran psikolog untuk kesehatan mental menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam program perawatan penyintas. Bahkan beberapa kasus membutuhkan bantuan psikiater; seperti yang juga terjadi pada Fadel.Â
Dari awal tahun 2022 ini, saya mengalami kesulitan berkonsentrasi. Bagaimanapun usahanya melawan maupun pasrah dengan berbagai pikiran yang menyerang, ia hanya terus berkutat tanpa bisa berkutik mengendalikan pikirannya. Setiap ada hal yang dirasa mengganggu, Fadel selalu terbuka dan bertanya kepada dokter yang sejak dulu menanganinya, Prof. Dr. dr. Pustika Amalia, Sp.A(K). Beliau adalah salah satu dokter anak di RSCM yang mendedikasikan diri untuk para penyintas thalassemia. Akrab dipanggil Prof. Lia, beliau dikenal sebagai sosok keibuan yang tegas, dan mungkin tidak sedikit yang 'takut'. Namun, semua penyintas yang berobat di RSCM kenal dekat dengan beliau, dan tidak jarang kedekatan tersebut terus berlanjut bahkan sampai setelah beranjak dewasa. Beliau juga yang kemudian menyarankan Fadel untuk berkonsultasi dengan psikiater. Dari diagnosis depresi, setelah melalui pemantauan lebih lanjut, Fadel didiagnosis PTSD (post-traumatic stress disorder). Setelah mendapat psikoterapi, obat antidepresi, dan healing bersama sahabat-sahabatnya ke manapun saja mereka suka, perlahan kondisi Fadel mulai membaik.
Saat ini Fadel selain fokus untuk bisa mengalihkan perhatiannya, Fadel sadar bahwa mengobrol juga menjadi bagian dari latihan komunikasi seperti yang dipesankan sahabatnya Adhit sebelum meninggal pada 8 November 2022 pada waktu bada' subuh. Kebutuhan yang kemudian menjadi bekalnya untuk meneruskan apa yang sudah mereka mulai bersama dengan Thalassemia Movement: sebuah perundangan hukum untuk mengatur screening thalassemia secara nasional.Â
Fadel sadar ini sebuah perjuangan berat yang masih panjang. Namun, ini adalah tanggung jawabnya sebagai seorang penyintas: memastikan jumlah penyintas tidak bertambah. Sebenarnya, perjuangan itu sudah pernah mencapai sedikit titik terang ketika Pak Sandiaga Uno menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2018 lalu.Â
Ketika itu, screening thalassemia sudah menjadi kewajiban bagi pasangan yang mau menikah di DKI Jakarta. Saat mendaftar ke Kantor Urusan Agama, para calon pengantin harus menyertakan tes darahnya di puskesmas kelurahannya masing-masing. Sayangnya, kebijakan tersebut mentah kembali dengan pergantian Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta. Dari kewajiban kembali menjadi formalitas. Walau sempat kecewa, pengalaman tersebut tetap membuatnya sadar bahwa kebijakan itu pernah dan bisa menjadi kenyataan. Ia pun bermimpi bahwa program screening thalassemia bisa dimulai lagi sebagai pilot project dari Pemerintah Daerah untuk kemudian dibawa ke Pemerintah Pusat. Mimpinya yang paling ujung: pembuatan kebijakan nasional screening pencegahan thalassemia oleh Kementrian Kesehatan. Sampai cita-cita tersebut tercapai, setiap anggota Thalassemia Movement sudah diwanti-wanti untuk menjaga diri sendiri dan keluarga terdekat atau ring 1 sesuai istilah mereka, untuk melakukan screening thalassemia sebelum menikah. Dengan screening tersebut, dari yang sudah menikah dan kemudian mempunyai anak, tidak ada anggota Thalassemia Movement yang memiliki keturunan sebagai penyintas.
Â
Thalassemia Movement sadar bahwa mereka tidak berhak melarang pernikahan sesama carrier dan keputusan untuk tidak menggunakan bayi tabung demi mendapatkan keturunan yang bukan seorang penyintas. Oleh karena itu, menurut mereka, akan lebih baik bila screening thalassemia dilakukan bukan pada saat sebelum menikah, tapi lebih dini lagi seperti pada program sekolah. Dengan mengetahui sejak awal, siapa tahu kemungkinan jatuh cinta pada sesama carrier dan pernikahannya bisa lebih diminimalisir.Â
Strategi lain yang berusaha diraih oleh Thalassemia Movement adalah menjangkau masyarakat. Selama belum bisa menggugah pemerintah, maka usaha untuk membuat jalur pintas memangkas pertambahan penyintas hanya bisa diperoleh bila masyarakat ikut awas. Upaya merintis jejak di berbagai platform adalah untuk mengikis ketidakacuhan terhadap penyintas, bukan untuk pansos apalagi curcol. Bahkan dari awal Adhit dan Fadel sudah gencar melakukan edukasi dimanapun mereka berada. Tidak muluk-muluk, audiens yang berusaha mereka capai adalah yang tepat berada di tempat mereka biasa nongkrong bersama, yang justru adalah kaum muda dari Milenial dan Gen-Z.Â
Sebuah irisan generasi yang harus dibekali kesadaran screening thalassemia karena sudah mulai ditanya 'kapan nikah?'. Untuk kelompok ini, Fadel harus mencari akal karena komunikasi formal jelas tidak mempan. Mereka-lah bukti efektif yang menunjukkan tidak selamanya edukasi dilakukan dengan presentasi.Â
Pendekatan dark jokes dan self-bully justru menjadi strategi yang lebih jitu untuk mendapat perhatian mereka agar bisa tercapai transfer informasi terkait thalassemia dan problematika dirinya sebagai seorang penyintas. Fadel sudah kenyang makan berbagai bentuk bully yang terus didapatnya selama bangku sekolah. Alih-alih menjatuhkannya, pengalaman menyakitkan itu justru yang membuat Fadel kuat dan lincah berstrategi mendekati Gen-Z saat ini. Sebuah prinsip yang berat tapi terus dipegangnya erat, karena itulah quote terakhir dari sang sahabat melalui chat sebelum ia menutup usia: "What doesn't kill you make you stronger Bro".
Â