Orang-orang datang ke sekolah untuk belajar atau bertemu dengan teman mereka, namun aku datang ke sekolah untuk melihatmu. Rambut yang berwarna coklat terpancar oleh sinar matahari saat pagi hari. Mata yang berwarna coklat muda, sungguh indah. Hatiku berdetak dengan cepat, melihatmu tersenyum lebar. Namun, aku hanya dapat melihatnya dari kejauhan, melihatnya bersenang-senang dengan orang lain. Ia sangat bahagia dengan orang tersebut, mereka cocok.
Aku sadar diri bahwa aku tak bisa mendapatkanmu, tetapi tetap saja dengan bodoh nya, aku tetap menunggu. Ya, aku tahu bahwa engkau mencintai orang lain, aku juga tahu bahwa perasaan ini seharusnya tidak ada. Tetapi tetap saja hatiku menunggumu, seperti anak kecil yang menunggu orang tuanya untuk bermain bersama.Â
Jika engkau pun tidak mencintai perempuan itu, kita juga tak bisa bersama. Kita menyembah Allah yang berbeda. Ya, aku tahu bahwa aku tak boleh mencintai yang berbeda iman, namun mengapa aku masih berharap?
Aku melihatnya dari kejauhan lagi, tatapannya pada perempuan tersebut membuat hatiku cemburu. Lantas, aku juga bukan siapa-siapanya bukan? Aku tak bisa melakukan apa-apa. Perasaan yang aku miliki terhadapmu pun kupendam. Lagian, apa gunanya?
Aku menghela napasku, merasakan bahwa ini memang takdir kita. Memang, Tuhan tidak mengizinkan kita untuk bersama. Aku menyembah Tuhan, engkau menyembah Dewa Langit. Aku pendiam, engkau suka bergaul dengan orang lain. Aku tak suka berolahraga, engkau suka main futsal.Â
Aku mencintaimu, engkau mencintai orang lain.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H