Kini, tidak hanya jurnalis profesional saja yang menyebarkan informasi kepada khalayak. Namun, ternyata kehadiran internet ini mengubah sistem kerja dunia jurnalistik menjadi berbeda yang ditunjukkan dengan adanya keterlibatan warga biasa dalam mempublikasikan sebuah informasi pada sebuah platform digital ini. Kegiatan warga yang terlibat dalam kegiatan jurnalisme ini disebut dengan citizen journalism.Â
Pada satu sisi, keterlibatan warga dalam jurnalistik dapat dikatakan sebagai hal baik karena mereka dapat mengutarakan opini maupun gagasan milik mereka, tapi di satu sisi dapat dikatakan buruk karena informasi yang disajikan tidak bisa dipercaya dan menggiring opini para pembaca. Kira-kira jurnalisme warga apakah akan menjadi pesaing bagi jurnalisme profesional yang ada di Indonesia? Yuk, simak informasi di bawah ini.
Menurut Keen (dalam Widodo, 2020, h. 66), jurnalisme warga sendiri memiliki imej sebagai seorang warga non-jurnalis yang menunjukkan kesamaan fungsi dengan jurnalis.Â
Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa pemirsa, pembaca, ataupun pendengar bukan menjadi objek dari sebuah media, tetapi mereka telah berubah menjadi seorang subjek karena melakukan kegiatan mengumpulkan, melaporkan, menganalisis, menyebarluaskan berita dan informasi, serta menerbitkan media sendiri. Hal ini menunjukkan perkembangan teknologi semakin berkembang semakin banyak pula aktivitas warga yang dapat dilakukan di internet, khususnya pada dunia jurnalistik.
Tidak hanya itu, Lim dalam (Eddyono, 2019, h. 301) menyatakan bahwa jurnalisme warga menjadi memiliki kesempatan untuk menyalurkan sebuah aspirasi atau pendapat melalui media massa. Melalui hal ini, para jurnalisme warga dapat membuka sebuah ruang publik untuk melakukan diskusi terhadap pemikiran yang mereka sampaikan di wadah yang telah disediakan.Â
Jadi, para warga kini tidak pasif dalam menerima informasi yang berasal dari media massa sehingga terjadi pergeseran peran dalam penyebaran sebuah informasi atau berita. Para warga ini dapat membentuk sebuah informasi berdasarkan sudut pandang masyarakat yang ingin dibentuk oleh media. Hal ini menunjukkan bahwa jurnalisme warga memperoleh penolakan dari dunia jurnalistik yang profesional karena terdapat kemungkinan untuk menggantikan jurnalisme profesional.Â
Kira-kira jurnalisme warga akan benar-benar menjadi pesaing bagi jurnalisme profesional?Â
Menurut penulis, jawabannya adalah tidak. Karena nyatanya keduanya dapat saling melengkapi terhadap sebuah informasi. Mengapa?Â
Karena nyatanya media arus utama atau media korporasi Indonesia juga menerima dengan kehadiran jurnalisme warga yang menjadikannya sebagai unit bisnis terpisah. Tidak berhenti di sini saja, bahkan artikel yang diunggah jurnalisme warga dapat dibeli oleh perusahaan media untuk dipublikasikan ke media yang menaungi jurnalisme profesional.
Selain itu, kehadiran internet memungkinkan bagi siapa saja dapat menyebarkan informasi. Maka, beberapa kelompok kontra melihat beberapa kelemahan jurnalisme warga. Menurut Widodo (2020, h. 67), para jurnalisme warga tidak memiliki kemampuan untuk menyebarkan informasi yang dapat dipercaya karena keterbatasan terhadap koneksi dan akses terhadap informasi.Â
Keterbatasan ini membuat para jurnalisme warga tidak bisa menyajikan narasumber yang belum tentu kredibel untuk melengkapi data informasi. Dari kegiatannya saja sudah menunjukkan bahwa mereka memiliki kesamaan pekerjaan dengan para jurnalisme profesional yaitu meliputi berita.Â
Namun, yang menjadi pembeda adalah para warga mempublikasikan informasi tidak memiliki pengetahuan dan pelatihan terkait kegiatan jurnalistik sehingga mereka tidak mengetahui hal penting apa ketika akan menulis ataupun meliput sebuah informasi.Â
Berbeda dengan para jurnalisme profesional, mereka memperoleh sejumlah pendidikan dan pelatihan yang didapat oleh jurnalis profesional pada umumnya. Para jurnalisme warga belum tentu bisa menuliskan sebuah informasi dengan berlandaskan kode etik jurnalistik yang berlaku. Berarti, jurnalisme warga bukan hanya menggeser peran jurnalisme profesional, tetapi menggantikannya?
Bahkan, beberapa perusahaan jurnalisme profesional yang menyediakan wadah tulisan bagi jurnalisme warga selalu menyebutkan bahwa seluruh isi konten merupakan tanggung jawab dari penulis itu sendiri. Para penulis diberikan kebebasan untuk menulis sejumlah artikel, tetapi tulisan tersebut tidak menjadi tanggung jawab dari perusahaan yang menaunginya.Â
Intinya, perusahaan hanya menyediakan wadah saja. Kebijakan ini diterapkan oleh salah satu platform jurnalisme warga, yaitu Kompasiana. Kompasiana merupakan sebuah platform publikasi online untuk jurnalisme warga dengan basis blog yang diluncurkan pada 2008 dan merupakan bagian dari Kompas Gramedia. Jadi, Kompas Gramedia memiliki platform informasi atau berita bagi para jurnalisme profesional (Kompas.com) dan jurnalisme warga (Kompasiana).Â
Para jurnalisme warga dapat mengunggah sejumlah konten berupa foto, artikel, dan opini. Konten yang diunggah cenderung subjektif karena para warga menyampaikan gagasan apa yang dianggap benar tanpa menyajikan data dan fakta. Untuk itu, jurnalisme profesional masih memegang kredibilitas dalam menyajikan sebuah berita dengan data-data pelengkap yang lebih mendukung isi berita sehingga membangun kepercayaan dari khalayak pula.
Yuniar (2019) menyatakan bahwa untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, Kompasiana membuat kebijakan mengenai para warga memiliki kebebasan dalam mengemukakan dan menyampaikan sebuah informasi selama dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang ITE No. 19 Tahun 2016, tepatnya pada pasal 45A.Â
Mereka yang akan mengunggah kontennya di Kompasiana akan disajikan syarat dan ketentuan yang dibuat dan diberlakukan pada situs tersebut. Dengan hadirnya peraturan tersebut, para  Maka, Kompasiana selalu menegaskan bahwa seluruh isi tulisan pada sebuah artikel bukan menjadi tanggung jawab dari media Kompasiana.Â
Jika melihat bagaimana Kompasiana memberlakukan kebijakan terhadap konten yang diunggah, maka dapat dikatakan bahwa jurnalisme warga yang awam terhadap sejumlah pengetahuan mengenai jurnalistik menjadi tahu dan sebagai pedoman pedoman mengenai hal apa yang boleh ditulis dan tidak boleh ditulis ketika akan mengunggah sebuah konten.Â
Perlahan-lahan jurnalisme profesional dengan jurnalisme warga memiliki prinsip dan kedudukan yang sama dalam memproduksi sebuah informasi meskipun keberadaan jurnalisme warga tidak diakui secara hukum.
Oleh karena itu, jurnalisme warga tidak akan menggantikan jurnalisme profesional dalam kegiatan publikasi informasi informasi dan berita. Hal ini dikarenakan citra yang dibangun oleh jurnalisme profesional adalah lebih kredibel dibandingkan jurnalisme warga sehingga sebagian besar khalayak akan lebih mempercayai informasi yang disediakan oleh jurnalis di bawah perusahaan berita yang telah diakui secara hukum.Â
Terakhir, kembali lagi bahwa sebagian konten yang disajikan oleh jurnalisme warga adalah berbasis blog sehingga informasi yang disajikan adalah opini ataupun gagasan. Pada satu sisi, jurnalisme warga dapat melakukan kerja sama dengan jurnalis profesional dengan melengkapi atau menambahkan tulisan yang dinilai kurang lengkap. Bagaimana pendapat Anda tentang jurnalisme warga yang mungkin menggantikan posisi jurnalisme profesional?
Daftar Pustaka
Eddyono, A. S., Faruk, H. T., & Irawanto, B. (2019). Menyoroti jurnalisme warga: Lintasan sejarah, konflik kepentingan, dan keterkaitannya dengan jurnalisme profesional. Jurnal Kajian Jurnalisme, 3(1), 1-17.
Widodo, Y. (2020). Buku Ajar Jurnalisme Multimedia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Yuniar, A. D. (2019). [RETRAKSI] DINAMIKA PRAKTIK JURNALISME WARGA MELALUI MEDIA BARU. Komuniti: Jurnal Komunikasi dan Teknologi Informasi, 11(1), 15-27.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H