Mohon tunggu...
JJ. Fidela Asa
JJ. Fidela Asa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyusun heuristik sendiri, menulis baik fiksi dan non fiksi, be philosophical, menyukai dunia anak, membaca buku literatur klasik atau buku fiksi-fiksi lain seperti genre sci-fi, historical, fantasi, dan masih banyak lagi, semua itu adalah kesukaannya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bercinta di Atap Kereta

3 Februari 2024   20:02 Diperbarui: 5 Februari 2024   16:33 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuningnya matahari menembus hijau hamparan daun, membuktikan transparansinya. Di sebuah jantung kota yang terpinggir, peluit panjang bagaikan naga mengudara, hilang tertelan awan, persis di atas arakan sungai nan deras sana.
Ini bukanlah sepasang sungai dan jembatan milik tahun 2023. Bila pun maha tinggi dan satu-satunya kemegahan yang penuh alga senantiasa kokoh menjulang, digelayuti serenade kereta kami yang melaju lebih pelan daripada kuda, tetap tidak mengubah bahwa itu hanya perkawainan ekosistem lawas.


Gemeresik; cuitan makhluk-makhluk hutan yang tidak sepadan omong kosong manusia, tidak serakah soal porsi dan ah ... suara kenari telah pergi, sebab seseorang menyalakan nafas pada seruling. Lengkingannya menciptakan jembatan antara alam bawah sadar dan realitas, tidak terlalu kuat, tapi mampu membelah udara kerontang, di atas kereta yang lajunya tidak secepat pacu kuda.


Tidak sendirian, tabla, dayan, dan bayan berseirama. Kan, sudah kubilang, manusia pasti sekali-kali menginterupsi.


Mereka semakin bercumbu, bibir kering yang meninggalkan salivanya di mulut bansuri, membuatnya benar-benar basah, sebasah matanya yang tersembunyi di balik pilar-pilar bulu mata. Persetan dengan musim, keringat lebih deras daripada apa yang ia minum. Hah ... setidaknya itu bukanlah jejak tangisan, bukan air mata yang enggan, bukan pula saliva yang seseorang lain susupkan ke dalam irisnya.


Begitu ... ya, demikian. Seorang penari wanita masuk di antara kami---di antara para lelaki yang menabuh iringan---dengan lincahnya meliukkan tubuh sehingga pinggang telanjangnya begitu menarik. Beberapa kulihat mereka menyeringai puas, melainkan kepada solidnya alunan. Mereka sungguh bekerja untuk alam, mereka membasahi alat-alat musik itu secara ikhlas, wanita itu pun juga. Mendadak laju kereta kami lebih cepat dari pacu kuda, seakan baru kehilangan satu ton beban.


Wanita itu, para pemusik dadakan itu, mereka sungguh melebur. Wajah-wajah mereka bagai melelah di bawah surya, pori-pori mereka memasok kilap alami bagai madu. Ah, wanita itu ... dia membiarkan pinggangnya basah, mengundang lenganku untuk menariknya. Untung dia sungguh cantik, mungkin dia Dewi untuk siang terik kami.


Tentu, siapa yang tahu bahwa Athene hanya dongeng mengesankan, siapa tahu kami telah menuhankan sosok lain yang lebih relevan. Mungkin sebab itulah, dendam pada dunia modern menggulung peradaban, tidak tersisa kecuali hanya derit kereta. Athene tidak membiarkan pinggangnya disentuh, sebab ia Dewi bijaksana yang cuma sakit hati. Sedikit.
Dewi mengembalikan kami, setelah udara dibuatnya lebih bersahabat.



JJ. Fidela Asa said, "Atheneverse is the boundless world I've created with words. Here, I am a learning Goddes with flexible benchmark."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun