Telat sering kali bukan masalah bagi sebagian orang. Apalagi hanya 'telat se-menit'. Se-menit itu bukan masalah yang besar, bahkan tidak dikatakan telat.
"Ah, semenit doang nggak apa-apa", "Semenit mah belum telat kali", "Bukan saya yang telat, tapi jamnya yang kecepatan. Lagian cuma semenit kok", de el el..
Itulah sederetan letupan spontan menanggapi telat se-menit itu. Sebagian sebagai ungkapan menghibur diri, tetapi sebagian lagi mungkin adalah keyakinan bahwa semenit itu memang bukan telat. So, tidak harus dipikirkan atau dibuat menjadi masalah yang disesali.
Begitulah sebagian orang menyepelekan semenit itu. Semenit seakan tidak bermakna sama sekali. Saking tak bermaknanya, orang bahkan menyalahkan waktu itu sendiri, jamnya yang kecepatan. Manusia ada-ada aja. Selalu ada cela untuk menyela, bahkan membolak-balikkan keadaan. Hehehehe...
Namun, tentang telat se-menit tadi, coba pikirkan!
Bagaimana jika anda mengalaminya di pintu check in bandara. Se-menit saja tapi cukup merisaukan. Pesawat telah take off dan anda ditinggal pergi. Pasti sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku, eh hati anda maksudnya. Heheheh
Jangankan ketinggalan pesawat, ketinggalan kereta aja sudah risau.  Coba bayangkan jika itu terjadi  di pintu tap in Kereta Api? Bayangkan dimana sebelum sampai di pintu itu, anda sudah kejar-kejaran dengan waktu. Anda sudah berjuang mati-matian dengan sepeda motor dengan kecepatan 70 KM/jam, berusaha memangkas waktu tempuh, yang biasanya 20 menitan, menjadi hanya 15 menit dari rumah ke stasiun.
Jalanannya pun jauh dari kata mulus dan beberapa kali harus merasakan sentakan  akibat roda yang bersinggungan kilat dengan lubang-lubang jalanan. Dan ketika sampai di pintu masuk, kedatangan anda persis bersamaan dengan kedatangan Kereta. Lalu tak butuh waktu semenit, sementara sedang menunggu respon cepat mesin tap in, yang mengizinkan anda masuk, kereta yang anda kejar-kejar dengan susah payah itu pun pergi menjauh, meninggalkan anda, tak peduli seberapa kecewa anda.
Lalu apakah anda masih bisa bilang: "semenit doang kok, itu mah belum telat?" Bisakah semudah itu letupan spontan anda terucap? Rasanya tidak mungkin. Yang terjadi tentu sesal dan kecewa.
Pada momen inilah, telat se-menit yang biasanya tidak apa-apa menjadi sangat apa-apa. Semenit yang sering disepelekan itu, berubah menjadi begitu bermakna.
"Andai saja saya lebih cepat semenit aja, mungkin saya tidak ketinggalan seperti ini." Litani andai-andai pun mulai didengungkan; berimajinasi menyusun ulang keputusan-keputusan sebelumnya demi mencegah atau tidak terjebak dalam apa yang telah terjadi saat ini, yakni telat se-menit.
Kecewa yang dalam membuat andai-andai bahkan tidak ada habisnya. Itulah tragedi "telat se-menit" yang patut kita pikirkan ulang. Betulkah telat-telat se-menit lainnya tidak apa-apa karena se-menit doang ataukah sebenarnya sangat apa-apa.
Bagi mereka yang menghargai waktu, dalam kondisi dan suasana apa pun, telat semenit sangatlah membuat risau. Semenit adalah sangat berharga. Seberapa harganya, tergantung bagaimana kita menghargai waktu.
Refleksi singkat atas pengalaman pagi ini di Stasiun Cicayur.Â
Selasa, 19 November 2024; Pukul 05.02 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H