Bersambung dari - Ibu dan Tungku Api Kesayangannya - Part 3....
..........
"Nana, cengka para, hitu emam ga - Nak, tolong buka pintu, ayahmu sudah pulang", sahut ende Sisi sambil menyeka rambutnya yang mulai memutih. Saya bergegas membukakan pintu. Tidak ada kata terucap, begitu pun saya. Rambutnya tampak basah berair dan raut wajahnya segar.
"Co tara kole wiem keta? - kenapa pulang agak malam?", tanya Ende Sisi membuka percakapan. "Ae..beheng wa wae, cenggo cebongk bo di - lama karena mampir untuk mandi di pancuran".
Ema Pun, begitu kami (anak-anak) memanggilnya, memang hampir selalu pulang malam. Selain karena jarak antara ladang dan rumah cukup jauh, sekitar 5 KM tetapi juga ada pertimbangan yang lebih penting.
Pulang secepatnya tentu saja bisa, tetapi risikonya cukup tinggi. Padi dan jagung akan jadi sasaran serangan binatang hutan. Ema Pun hampir tidak mengambil risiko itu. Baginya lebih baik pulang malam daripada hasil keringatnya luluh lantah oleh binatang hutan.
Maka pulang di saat ruburebem, sore menjelang malam, selalu menjadi pilihannya. Memastikan ladang aman, dengan menyalakan api di beberapa titik serta berjalan keliling di dekat langang  (batas kebun) adalah ritus pamungkas sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang rumah.
Bukan hanya sekali tetapi berkali-kali dan bahkan selalu. Sejak hari pertama menanam hingga hari panen raya tiba. Pergi secepat mungkin dan juga pulang selambat mungkin. Itulah prinsipnya. Begitulah keseharian Ema Pun. Sebab katanya, ia harus menjadi yang pertama di Ladang pada pagi hari sekaligus yang terakhir pada sore hari.
Yang ini (didikan/ajaran) tidak pernah dikatakan atau diajarkannya. Ia hanya melakukannya dengan tekun, ulet dan setia. Baginya itu saja sudah cukup. Dan kami dibiarkannya untuk belajar dari apa yang dilakukannya.