Aku adalah saudara Kelana, musafir dan perantau. Aku terlahir bukan milik siapa-siapa, selain Dia yang mengenalku sejak aku belum terbentuk dalam kandungan ibu. Aku bukan milik ayahku. Aku bukan milik ibukku, meski pernah tinggal sembilan bulan dalam rahimnya. Aku bukan miliknya.
Aku tidak bermaksud seperti Malin kundang. Menjadi anak durhaka yang melupakan sang ibu tercinta. Bukan! Sebab yang aku katakan itulah yang sesungguhnya benar. Aku hanyalah titipan di tangan ibu dan ayah. Namun, meski hanya titipan, mereka merawatku dalam dekapan penuh kasih. Sebab ayah dan terutama ibuku tahu siapa sesungguhnya pemilikku.
Maka setelah 9 bulan berlalu, aku dilahirkan. Aku telanjang dan merasakan betapa dunia begitu dingin. Aku menangis. Di telingaku yang masih merah terdengar bisikan: "Selamat datang anakku. Menagislah nak, sebab kamu akan mengalaminya dalam ziarahmu. Dan inilah awal ziarahmu itu."Â
Aku didekapnya erat. Ia diliputi haru yang dalam. Sementara matanya berkaca-kaca. Dan lagi katanya:
 "Aku rela melepaskanmu. Sebab kamu sesungguhnya bukan milikku."  Mulutnya bertutur haru sementara jauh di lubuk hati terdalamnya, doa-doa dilantunkan. Pujian, syukur dan permohonan berpadu dan membubung ke langit, kepada Dia yang maha mengenal segalanya, bahkan mengenal segalanya sebelum dunia dijadikan.
Kala itu aku tidak tahu apa-apa tentang semuanya, termasuk yang dibisikan ibu di telinga kecilku. Kata-kata itu terlampau tinggi untuk dipahami oleh aku yang adalah seorang bayi mungil. Bahkan untuk mengingat dan merekam momen-momen kelahiranku sendiri pun tidak. Semuanya, setelah beranjak dewasa aku perlahan mengerti betapa momen-momen itu amat berharga bagiku dan bagi ibu yang melahirkanku.
Bisikan pertama sesaat setelah aku lahir itu adalah kebenaran tetapi sekaligus pertanyaan yang selalu harus dicari jawabannya. Aku dan semua kita bukanlah milik siapa-siapa. Kita hanyalah titipan di tangan orang-orang baik dan terkasih. Â Mereka merawat, menjaga, melindungi, mendidik, dan membesarkan seolah-olah kita milik mereka. Tetapi pada akhirnya mereka tahu dan sadar bahwa semuanya harus mereka lepaskan pergi. Tidak ada yang tinggal tetap pada mereka selain kenangan suka dan duka serta doa-doa terbaik untuk kita yang terbaik.
Hal-hal terbaik mereka berikan hingga akhirnya mereka menitipkan kita lagi ke masa depan yang penuh ketidakpastian. Saat jauh, ketika terpisah jarak ribuan kilo meter, aku baru sadar dan mengerti mengapa ibu membiarkan aku menangis di hari lahirku. Kini dan di sini, ketidakpastian dan aneka kejutan sering kali mendatangkan air mata. Sesal, cemas, ragu, bahkan rasa takut membayangi hari-hariku.
Tetapi aku sadar bahwa ibu, yang karena tahu akan segala nestapa di hari depan, ia telah siapkan hatinya dan perisai terbaik bagi anaknya. Sebagaimana aku nyaman dalam kandungannya selama waktu 9 bulan dan dalam pelukan-pelukan masa kecil demikian juga aku kini dan akan nyaman di balik perisai pemberiannya. Hanya dengan itu, ia dulu merasa yakin merelakanku pergi, bahkan sejauh jarak yang tak terbayangkan ini.Â
Aku dititipnya ke masa depan hanya dengan satu perisai sekaligus jalan yang diyakininya sebagai jalan yang benar dan tepat. Ia menitipkanku ke masa depan lewat doa-doa tanpa henti. Ia telah mengajariku berdoa dan selalu berdoa untukku. Doa-doa ibu adalah perisaiku.
Saat ini aku sadar mengapa harus berdoa? Sebab hanya inilah jalan satu-satunya aku dapat mencari dan mengenal siapa pemilikku sesungguhnya. Aku saudara Kelana. Dibiarkan pergi oleh ibu ayahku agar menemukan siapa pemilikku sebenarnya. "Kamu bukan milikku" adalah pesan sekaligus pertanyaan yang selalu harus aku cari dan temukan jawabannya. Maka itulah aku berkelana.......
Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur -Â
Sabtu, 11 Juni 2022
Tantangan Menulis Setiap Hari - #Harike-2: Sabtu, 11 Juni 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H