Kala itu di sebuah ruang kelas sekolahku. Aku duduk di selasar sambil menatap kosong ke angkasa menanti siswa untuk mengikuti pelajaranku, pelajaran yang dalam pikiran kebanyakan siswa merupakan pelajaran menakutkan , menyebalkan, memuakkan, menjemukan. Selang berapa lama aku dikejutkan dengan teriakan siswa-siswa ku.
”Pak ayo kita masuk kelas untuk belajar” dengan nada yang penuh semangat.
Tatapan kosong ku pun buyar seiring dengan teriakan siswa-siswa ku.
Dengan sigap aku pun berdiri dari duduk ku seraya berkata ”Ayo kita masuk kelas, kita capai setitik ilmu untuk masa depan”. Proses pembelajaran pun di mulai.
Aku bertanya kepada siswa ku ”Siapa semalam yang sudah mempelajari pelajaran kita untuk hari ini”.
Suasana kelas pun diam dengan tingkah pola siswa-siswa ku yang terkejut dengan pertanyaan tersebut. Salah seorang siswa menjawab ”Ah....Bapak ini seperti tidak pernah seperti kami saja”.
Lalu ku balas jawaban tersebut ”Karena Bapak sudah pernah seperti kalian maka nya Bapak tanya seperti itu”. Lalu ku lanjutkan ”Jadi kalian belum ada satu pun yang mempelajari nya”.
”Ok tidak masalah” lanjutku.
”Sebelum Bapak memulai pelajaran ada sebuah kalimat yang mungkin bisa kalian renungkan”. Lalu ku tulis kalimat tersebut di papan tulis di depan kelas. Kalimat tersebut seperti ini.
Tinggalkan ku dalam kebutaan
Hingga ku lihat cahaya terang
Tinggalkan ku dalam ketulian
Hingga ku dengar bisikan
Tinggalkan ku dalam kehambaran
Hingga ku kecap kenikmatan
Tinggalkan ku dalam kehausan
Hingga ku reguk dahaga kesejukan
Tinggalkan ku dalam sengsara mayapada
Hingga ku dapat bahagia indraloka
Tinggalkan ku dalam ruang kosong dan hampa
Hingga ku temukan aku
Setelah ku selesai menulis kalimat tersebut lalu ku berkata ”Pahami kalimat ini dan camkan dalam diri kalian, mungkin suatu saat kalian akan berkata :”Benar juga kata Bapak”. Lalu ku mulai pelajaran sampai dengan berakhir.
Singkat cerita tiga bulan berlalu. Aku duduk diselasar depan kelas sambil termenung. Tiba-tiba seorang siswa mengejutkan ku.
”Ayo Bapak melamun, awas pak ayam saya meninggal gara-gara melamun” sambil tertawa siswa tersebut.
”Berarti kalau saya sepuluh kali melamun ayam siapa yang meninggal karena kan kamu Cuma punya satu ayam” kelakar ku dengan siswa tersebut.
”Benar juga ya pak” jawab siswa tersebut.
”Kenapa melamun Pak” tanya siswa ku
”Tidak, saya tidak melamun cuma sedang berkhayal” pungkas ku
”Berkhayal apa Pak kalau boleh saya tau” lanjut siswa ku.
Ku sodorkan kertas hasil print dari internet kepada siswa ku.
Setelah ia membaca kertas tersebut dengan nada semangat ia berkata ”Pokok nya Bapak harus ikut diklat ini” walau ia mungkin tidak tahu apa yang ia ucapkan.
Sambil tersenyum aku menjawab ”Kamu yakin Bapak akan bisa diterima di diklat tersebut”
”Yakin bingits Pak saya” jawab nya dengan gaya anak-anak jaman sekarang.
”Pokok nya Bapak harus ikut”.
”Bapak tidak yakin bisa lolos dalam diklat tersebut” jawabku.
Siswa tersebut menceramahi ku.
”Ingat tidak Pak waktu itu bapak menulis di papan tulis kalimat yang Bapak bilang harus di camkan”
”Awalnya saya menyepelekan kalimat Bapak tersebut walau saya tulis juga”
”Saya ingat bagaimana Bapak menyemangati saya dengan pelajaran Bapak”
”Asal Bapak tahu pelajaran Matematika adalah pelajaran yang membosankan, menjemukan, dan saya malas untuk mempelajari nya”
”Apalagi saat Bapak menunjuk saya untuk mengerjakan di depan”
”Rasanya saya lebih baik loncat dari lantai 10 Pak pada saat itu”
”Tapi apa semua ketakutan saya terhadap Matematika hilang saat di depan kelas”
”Saat saya bilang saya tidak bisa mengerjakannya Pak, saya takut salah”
”Dengan tenang Bapak mengatakan santai aja yang penting mencoba dulu, salah itu urusan kesekian”
”Saat itu saya mulai menyukai Matematika pak dan mulai paham dengan kalimat yang Bapak tulis tersebut”
”Ayo Pak daftar dulu urusan di terima atau tidak urusan kesekian yang penting kita sudah mencoba” sambil mencium tangan ku untuk pamit berkumpul dengan teman-temannya
Di kalimat terakhir siswa tersebut menampar wajahku seperti di sambar petir di siang bolong.
Anak seperti itu menasihatiku, anak yang dulu terhadap pelajaran ku paling empati tapi sekarang ia menasehati ku dengan kalimat ku sendiri.
Dalam hati ku bergumam ” Terima kasih siswa ku, Engkau Guruku ”
“Tulisan ini merupakan tugas Diklat Online P4TK Matematika”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H