Doktor geodesi ITB, Heri Andreas bahkan menyarankan pemerintah Jakarta untuk meniru apa yang dilakukan Tokyo. Ibukota Jepang itu sebelum tahun 1975, juga mengalami masalah penurunan permukaan tanah. Tokyo benar-benar menghentikan penggunaan air tanah. Tidak ada lagi gedung yang diperbolehkan mengambil air tanah. Dengan menerapkan kebijakan itu sejak tahun 1975, penurunan permukaan tanah di Tokyo pun berhenti.
Selain pemerintah yang kurang cepat tanggap dengan permasalahan ini, masyarakat pun kurang peduli terhadap masalah ini. Pemerintah tidak membatasi pembangunan di pinggir laut. Seharusnya, pembangunan-pembangunan yang ada di pinggir laut dibatasi, apalagi bangunan bangunan besar seperti hotel.
Hal ini akan berdampak kepada semakin cepatnya penurunan permukaan tanah di Jakarta. Terlebih lagi banyaknya praktik kurang terpuji yang dilakukan oleh bangunan-bangunan tersebut. Dari inspeksi di jalan Sudirman dan Thamrin, ditemukan 56 gedung memiliki sumur pengambilan air tanah dengan kedalaman lebih 200 meter. Sebanyak 33 di antaranya ilegal dan tidak memiliki izin atau sudah habis masa berlakunya.Â
Selain itu, dari total 80 gedung, 37 gedung belum memiliki sumur resapan, atau sumur resapannya tidak berfungsi. Dilihat dari kasus ini, alangkah baiknya pemerintah menindak tegas dan memperketat pengawasan pada gedung-gedung yang tidak menaati peraturan.
Usaha pemerintah tidak akan bisa berhasil jika masyarakat tidak peduli dan tidak kooperatif. Maka dari itu, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menangani masalah penurunan permukaan tanah di Jakarta.
Sekarang jakarta memang  masih ada, tetapi jika tidak segera ditangani, generasi selanjutnya tidak akan bisa melihat Jakarta lagi. Kita sebagai masyarakat sebisa mungkin dukung program pemerintah untuk menghentikan masalah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H