Mohon tunggu...
Fida Hanifa
Fida Hanifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

penyayang, cantik, manis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menerima Perbedaan Metode Hilal antara NU dan Muhammadiyah

17 Juli 2024   23:41 Diperbarui: 17 Juli 2024   23:49 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menerima Perbedaan Metode Hilal antara NU dan Muhammadiyah

Oleh:Fida Hanifa

 

     Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, mayoritas ini membawa tantangan tersendiri, terutama dalam hal keragaman cara pandang dan praktik beragama. Keanekaragaman budaya dan tradisi di Indonesia menciptakan berbagai variasi dalam praktik dan pemahaman Islam, yang sering kali menjadi sumber konflik baik di tingkat nasional, regional, maupun lokal.

     Seperti yang kita ketahui bahwa keanekaragaman budaya dan tradisi yang ada di Indinesia bervariasi dalam praktik dan pemahaman tentang islam. Ada dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ialah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, kedua organisasi ini mencerminkan perbedaan pendekatan dan pandangan terhadap ajaran Islam. NU lebih mempertahankan dan mengembangkan tradisi Islam Nusantara yang kaya akan budaya lokal, seperti tahlilan yang sampai sekarang masih banyak dilakukan oleh masyarakatnya, sedangkan Muhammadiyah lebih fokus pada pendidikan, modernisasi, dan pembaruan ajaran agama Islam sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis, seperti pembangunan sekolah madrasah dan universitas.

     Dari banyaknya perbedaan pendapat kedua organisasi ini ada satu perdebatan yang sering terjadi setiap tahunnya. Isu yang sering menjadi perdebatan dan bahkan konflik adalah penentuan hilal atau awal bulan Hijriyah, khususnya dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. NU dan Muhammadiyah memiliki metode yang berbeda dalam menentukan hilal, yang sering kali berujung pada perbedaan tanggal dimulainya puasa dan hari raya.

     Seperti yang terjadi pada tahun lalu, tepatnya pada tahun 2023 terdapat perbedaan dalam penentuan Idul Fitri antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan bahwa 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Sabtu, 22 April 2023, setelah melakukan ru'yatul hilal, sedangkan Muhammadiyah menetapkan bahwa 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Jumat, 21 April 2023, berdasarkan metode hisab yang mereka gunakan.

     NU menggunakan metode ru'yatul hilal, yaitu dengan mengamati langsung bulan sabit muda di langit. Metode ini melibatkan ulama dan ahli astronomi yang mengamati hilal pada akhir bulan Sya'ban dan Ramadhan. Jika hilal sudah mulai terlihat, maka hari berikutnya ditentukan sebagai awal bulan baru. Metode ini dianggap lebih sesuai dengan tradisi Rasulullah. Sebaliknya, Muhammadiyah menggunakan metode hisab, yaitu perhitungan astronomis untuk menentukan posisi bulan. Metode ini menggunakan data dan rumus untuk menentukan kapan hilal akan terlihat. Dengan metode ini, Muhammadiyah dapat menentukan bulan Hijriyah jauh-jauh hari sebelumnya tanpa harus melakukan observasi langsung. Metode ini dianggap lebih modern dan akurat dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

     Perbedaan metode ini sering kali menyebabkan umat Muslim di Indonesia menjalankan awal Ramadhan dan merayakan hari raya pada hari yang berbeda. Situasi ini bisa menjadi sumber ketegangan dan perpecahan di kalangan masyarakat Muslim. Oleh karena itu, penting untuk menemukan cara untuk mengelola perbedaan ini dengan prinsip moderasi beragama.

     Moderasi beragama biasanya lebih menekankan pada sikap toleransi, penghormatan terhadap perbedaan, dan dialog antarumat beragama. Prinsip ini bisa menjadi solusi untuk mengatasi perbedaan penentuan hilal antara NU dan Muhammadiyah.

     Kemudian, bagaimana sikap moderat dalam menyikapi perbedaan ini?

     Berdasarkan penjelasan yang telah dijelaskan oleh bapak Oman Fathurahman di kelas 4C BSA, di sana dijelaskan bahwa ada beberapa rumusan moderasi beragama. Yang pertama, mengedepankan kehidupan bersama. Sikap pertama yang harus diambil adalah menjaga kerukunan dan persatuan di antara umat Islam. Perbedaan metode penentuan hilal seharusnya tidak menjadi sumber perpecahan, tetapi justru dijadikan sebagai kekayaan intelektual dan kultural dalam kehidupan bersama. Dalam kehidupan beragama, prinsip hidup berdampingan secara harmonis sangat penting. Umat Islam di Indonesia harus mengedepankan semangat kebersamaan dan saling menghormati. Dengan demikian, perbedaan metode penentuan hilal tidak akan memecah belah umat, tetapi justru memperkaya diskusi dan pemahaman keagamaan.Dengan mengedepankan sikap saling menghormati dan memahami, perbedaan metode penentuan hilal tidak harus menjadi sumber konflik.

     Yang kedua, memahami esensi ajaran agama, NU maupun Muhammdiyah, keduanya memiliki dasar-dasar yang kuat dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, perlu ada saling memahami dan menghargai metode yang digunakan masing-masing pihak, kemudian balik lagi pada tujuan tujuan utama, yaitu menjalankan ibadah dengan khusyuk dan benar. Keduanya berpegang pada prinsip-prinsip dasar syariat Islam. Mereka berusaha memastikan bahwa setiap ibadah yang dilakukan sesuai dengan ajaran Islam. Meskipun metode yang digunakan berbeda, baik NU maupun Muhammadiyah, tetapi memiliki niat yang sama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan syariat yang benar. Perbedaan dalam metode tidak seharusnya mengaburkan tujuan mulia tersebut. Dengan saling memahami, umat Islam bisa lebih fokus pada tujuan utama dari ibadah yang dilakukan.

     Yang ketiga, mengutamakan martabat kemanusiaan. Setiap keputusan atau tindakan dalam penentuan hilal itu harus mempertimbangkan bagaimana dampaknya terhadap kemanusiaan. Hal ini penting untuk menjaga martabat umat Islam dan menghindari konflik yang dapat merusak keharmonisan sosial. Dalam menjalankan praktik beragama, martabat kemanusiaan harus dijunjung tinggi di setiap aspek kehidupan. Perbedaan pendapat dalam metode penentuan hilal tidak boleh merendahkan martabat umat Islam atau memicu konflik yang dapat merusak tatanan sosial. Perbedaan harus dilihat sebagai bagian dari dinamika yang sehat dalam masyarakat, yang seharusnya memperkaya wawasan dan memperkuat persatuan, bukan sebaliknya.

     Yang keempat, membangun kemashlahatan umat. Setiap keputusan terkait penentuan hilal harus mengarah pada kemaslahatan umum. Meskipun ada perbedaan, keputusan yang diambil harus bertujuan untuk kebaikan bersama dan tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Kemaslahatan umum menjadi tolok ukur dalam pengambilan keputusan keagamaan. Umat Islam harus berpikir jauh ke depan, mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan yang diambil. Dalam konteks penentuan hilal, keputusan yang diambil harus bisa memberikan manfaat yang luas dan menghindari potensi kerugian bagi umat.

     Yang kelima, berpegang pada prinsip adil dan imbang. Pendekatan yang diambil harus adil dan berimbang, tidak memihak pada salah satu metode saja. Pemerintah sebagai mediator harus bersikap netral dan mempertimbangkan pandangan kedua belah pihak. Prinsip keadilan dan keseimbangan sangat penting untuk menjaga keharmonisan. Pemerintah, sebagai pihak yang bertanggung jawab, harus memastikan bahwa setiap keputusan diambil dengan mempertimbangkan semua pihak yang terlibat. Dengan sikap yang adil dan imbang ini dapat meminimalisir konflik yang akan terjadi.

     Yang keenam, mematuhi konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa. Konstitusi dan peraturan pemerintah terkait penentuan hilal harus diikuti sebagai bentuk kesepakatan bersama. Hal ini untuk memastikan adanya satu suara dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi seluruh umat Islam di Indonesia. Mematuhi konstitusi adalah bentuk penghormatan terhadap kesepakatan bersama sebagai bangsa. Dalam hal penentuan hilal, keputusan yang diambil harus didasarkan pada peraturan yang berlaku. Hal ini untuk memastikan bahwa keputusan tersebut memiliki landasan hukum yang kuat dan bisa diterima oleh seluruh masyarakat.

     Pendekatan moderasi beragama berperan penting dalam mengatasi perbedaan penentuan hilal antara NU dan Muhammadiyah. Dengan mengutamakan toleransi, kedua kelompok bisa menghargai pandangan masing-masing tanpa mengedepankan perbedaan sebagai sumber konflik. Penghormatan terhadap metode dan tradisi yang berbeda memungkinkan kedua pihak untuk tetap teguh pada keyakinan mereka, sambil tetap menjaga kerukunan.

     Dialog yang terbuka dan konstruktif dapat menjadi jembatan untuk mengklarifikasi alasan di balik perbedaan tersebut. Melalui diskusi yang saling menghargai, baik NU maupun Muhammadiyah bisa menemukan titik temu atau setidaknya mencapai kesepahaman tentang pentingnya saling menghormati perbedaan pandangan dalam semangat persatuan umat Islam. Pendekatan ini tidak hanya membantu mengatasi perbedaan penentuan hilal, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan persatuan umat beragama.

     Dengan demikian, moderasi beragama menjadi landasan yang kokoh untuk membangun masyarakat yang harmonis dan toleran. Meskipun NU dan Muhammadiyah memiliki pendekatan yang berbeda, keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu menjaga keutuhan dan kemajuan umat Islam. Dengan semangat moderasi beragama, perbedaan ini dapat dijadikan sebagai kekayaan yang memperkaya wawasan luas dalam pengetahuan tentang Islam di Indonesia, bukan sebagai sumber konflik yang memecah belah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun