Menerima Perbedaan Metode Hilal antara NU dan Muhammadiyah
Oleh:Fida Hanifa
Â
   Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, mayoritas ini membawa tantangan tersendiri, terutama dalam hal keragaman cara pandang dan praktik beragama. Keanekaragaman budaya dan tradisi di Indonesia menciptakan berbagai variasi dalam praktik dan pemahaman Islam, yang sering kali menjadi sumber konflik baik di tingkat nasional, regional, maupun lokal.
   Seperti yang kita ketahui bahwa keanekaragaman budaya dan tradisi yang ada di Indinesia bervariasi dalam praktik dan pemahaman tentang islam. Ada dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ialah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, kedua organisasi ini mencerminkan perbedaan pendekatan dan pandangan terhadap ajaran Islam. NU lebih mempertahankan dan mengembangkan tradisi Islam Nusantara yang kaya akan budaya lokal, seperti tahlilan yang sampai sekarang masih banyak dilakukan oleh masyarakatnya, sedangkan Muhammadiyah lebih fokus pada pendidikan, modernisasi, dan pembaruan ajaran agama Islam sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis, seperti pembangunan sekolah madrasah dan universitas.
   Dari banyaknya perbedaan pendapat kedua organisasi ini ada satu perdebatan yang sering terjadi setiap tahunnya. Isu yang sering menjadi perdebatan dan bahkan konflik adalah penentuan hilal atau awal bulan Hijriyah, khususnya dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. NU dan Muhammadiyah memiliki metode yang berbeda dalam menentukan hilal, yang sering kali berujung pada perbedaan tanggal dimulainya puasa dan hari raya.
   Seperti yang terjadi pada tahun lalu, tepatnya pada tahun 2023 terdapat perbedaan dalam penentuan Idul Fitri antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan bahwa 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Sabtu, 22 April 2023, setelah melakukan ru'yatul hilal, sedangkan Muhammadiyah menetapkan bahwa 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Jumat, 21 April 2023, berdasarkan metode hisab yang mereka gunakan.
   NU menggunakan metode ru'yatul hilal, yaitu dengan mengamati langsung bulan sabit muda di langit. Metode ini melibatkan ulama dan ahli astronomi yang mengamati hilal pada akhir bulan Sya'ban dan Ramadhan. Jika hilal sudah mulai terlihat, maka hari berikutnya ditentukan sebagai awal bulan baru. Metode ini dianggap lebih sesuai dengan tradisi Rasulullah. Sebaliknya, Muhammadiyah menggunakan metode hisab, yaitu perhitungan astronomis untuk menentukan posisi bulan. Metode ini menggunakan data dan rumus untuk menentukan kapan hilal akan terlihat. Dengan metode ini, Muhammadiyah dapat menentukan bulan Hijriyah jauh-jauh hari sebelumnya tanpa harus melakukan observasi langsung. Metode ini dianggap lebih modern dan akurat dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
   Perbedaan metode ini sering kali menyebabkan umat Muslim di Indonesia menjalankan awal Ramadhan dan merayakan hari raya pada hari yang berbeda. Situasi ini bisa menjadi sumber ketegangan dan perpecahan di kalangan masyarakat Muslim. Oleh karena itu, penting untuk menemukan cara untuk mengelola perbedaan ini dengan prinsip moderasi beragama.
   Moderasi beragama biasanya lebih menekankan pada sikap toleransi, penghormatan terhadap perbedaan, dan dialog antarumat beragama. Prinsip ini bisa menjadi solusi untuk mengatasi perbedaan penentuan hilal antara NU dan Muhammadiyah.
   Kemudian, bagaimana sikap moderat dalam menyikapi perbedaan ini?