Sekawanan burung laut  melayang meniti angin bergerak kian kemari mengikuti laju kapal. Sesekali merendah mendekati buih putih air laut yang timbul karena pengaruh propheller. Langit cerah dengan terik matahari Karibia. Tangan menempel di hand railing pembatas kapal, bakal berasa lengket karena kandungan garam udara laut.Â
Kapal Volendam gagah menerjang ombak. Memecah kesunyian di tengah ciptaan Yang Maha Luas. Perannya sebagai salah satu kapal Holland America Line turut menyemarakkan industri kapal pesiar. Luarnya tampak biru. Warna putih mendominasi bagian atasnya. Kira-kira tujuh knot kecepatan kapal melenggang mantab ke tujuan berikutnya. Diringi sekawanan burung-burung tadi. Nampaknya buih-buih putih di belakang kapal itulah yang menarik perhatian mereka. "Adakah makanan di balik buih putih itu? Jelas segala sesuatu telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Termasuk rejeki itu sendiri". Batin Manggih sambil sesekali menarik nafas dalam-dalam di atas geladak terbuka itu.Â
Beberapa hari di kapal itu Manggih masih merasa berat. Meninggalkan Indonesia kapan hari lalu antara iya dan tidak. Langkah akhirnya dibulatkan untuk tetap mengejar cita-citanya mencari dolar. Untung saja penerbangan tidak langsung satu tujuan melainkan dua kali transit sehingga masih ada variasi dalam perjalanan. Berangkat dari bandara Soekarno Hatta transit di Hongkong kemudian dilanjut ke LA. Tiba di LA menginap di hotel Ramada baru paginya dijemput untuk masuk ke Volendam yang sedang berlabuh di San Diego. Perjalanan dari LA ke San Diego  ditempuh 4 jam menggunakan bus.
Berlalunya kapal dari dermaga San Diego kali ini awal dari perjalanan baru sekaligus kontrak baru. Akan ada rutinitas lama yang terulang. Bekerja dan bekerja. Semua sudah di depan mata. Â
Satu sisi masih ada ganjalan dalam hati Manggih. Seseorang yang masih membekas dalam ingatan. Terbawa terbang hingga hinggap bersamanya di atas geladak Volendam. Seseorang yang tiba-tiba saja memberi warna di liburan kemarin.
"Ach, konyol amat sich, masak aku betul-betul mempunyai rasa suka padanya?". Pikir Manggih.
Angin laut berhembus sedikit kencang. Ombak terbelah oleh badan kapal, kemudian bergelombang ke kanan dan ke kiri. Terdengar riuh rendah mengimbangi deru mesin kapal itu sendiri. Helaan nafas Manggih seakan mencari keselarasan. Berpadu satu menjadi harmoni sore itu bagi Volendam.
Tiga puluh menit lalu usai sudah pekerjaan shift kedua hari itu. Seperti ada yang mau dicari Manggih selain melihat daratan yang kini ditinggal. Mengharap adanya suasana selingan yang lebih renyah dan ringan. Bergegas Manggih mengeluarkan handphone dari kantongnya. Cekatan dibukanya kotak pesan. Seperti ada yang dipilah pilih.
Ekspresinya menandakan bahwa ia teringat seseorang. Dibacanya kembali sebuah pesan. "Hati-hati di perjalanan ya ka, keep in touch!". Sejenak Manggih melayangkan pandang jauh ke depan.
"Thank you banget Bell, Aku akan selalu keep in touch denganmu. Rentang jarak ini semoga tak menjadikan komuniksi putus. Semoga Tuhan selalu memberi kesempatan pada kita untuk tetap kontek-kontek". Demikian Manggih mendengar suara hatinya sendiri di tengah harmonisasi alam dan volendam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H