Orang-orang terdekat pun, baik yang laki-laki ataupun perempuan, perlu diingat bahwa sifat judgemental yang didasari oleh pemikiran konservatif dapat menjadi penghalang untuk teman-teman, juga baik yang laki-laki atau perempuan, meminta pertolongan. Misalnya, masih menganggap bahwa kesehatan mental itu sesuatu yang semu kemudian meremehkan permintaan tolong dari salah satu kawan, dapatlah menjadi penghalang untuk mereka meminta pertolongan kembali.Â
Nah, dalam konteks toxic masculinity ini, kepada mereka yang masih mengamini peran gender yang tradisional, perlahan-lahan juga harus memahami bahwa apa yang diamini oleh mereka dilabeli toxic bukan tanpa suatu alasan. Perlu dipahami juga, bahwa terkadang, seseorang yang meminta tolong kemudian enggan meminta tolong lagi dikarenakan orang-orang disekitar mereka. Dapat saja laki-laki yang tidak lagi terpaku pada konstruksi peran gendernya, tetap enggan meminta pertolongan karena justru, orang-orang terdekatnya yang masih terpaku pada konstruksi peran gender ini.
Jadi, sambil perlahan-lahan mengentaskan konstruksi peran gender yang 'berbahaya', mulai dari diri sendiri untuk lepas dari konstruksi peran gender tersebut. Mengamini bahwa meminta pertolongan bukanlah bentuk kelemahan, apalagi untuk laki-laki. Meminta pertolongan adalah lumrah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H