Menegakan Sistem ditengah Ketidak pastian hukum ?
Hukum itu tidak berdiri diruang kosong, ia berkelindan dgn berbagai macam kepentingan, bahkan seringkali hukum justru menempati prosentase terkecil dalam keseluruhan existensinya.
Adalah notoir feiten, fakta yg diketahui dan dimaklumi umum adanya, berbagai jenis kepentingan seperti kekuasaan politik, uang, bisnis dan kelompok-kelompok kepentingan lain, shg tdk jarang kasus kasus yg muncul dipengadilan merupakan hasil "framing" dr intervensi kepentingan kepentingan itu.
Pada kasus kasus yg bernuansa bisnis ato menyangkut pelaku pelaku usaha besar terutama perdata, tdk jarang "kebebasan kekuasaan kehakiman" yg idealnya tdk boleh diintervensi, kenyataan yg terjadi justru "minta diintervensi". Aneh tapi nyata (ingat OTT KPK thdp Panitera PN Jakarta Pusat atau kasus PK SUJONO TIMAN Komisi Yudisial mendeteksi ada hakim yg bolak balik Jkt-Singapore 18 kali dlm satu bulan- gile).
Demikian juga dalam kasus putusan kasasi yg "melepaskan" (?) Syafrudin Arsyad Tumenggung (dalam kasus "lunas" BLBI) dideteksi salah seorg Hakim bolak balik bertemu salah seoang pengacaranya, dan untuk kasus ini Hakim ad hoc Tipikor yg berasal dr pengacara yg masih menajang namanya pd kantornya, telah dihukum etika oleh MA.
Kasus kasus ujaran kebencian pd umumnya dihegemoni oleh kepentingan kepentingan itu, ahok, bunyani dan ahmad dani, bhkn mungkin akan menyusul Rocky Gerung akan menjadi "korban korban" putusan pengadilan yg hegemoni dintervensi kepentingan diluar hukum itu sendiri. Pun demikian kasus BLBI Syafrudin AT yang "dilepas" (onslag) karna perbedaan 3 Hakim pemutusnya di MA (pidana, perdata & adminstrasi) padahal dua tingkat peradilan (PN & PT) telah menghukumnya, jg tidak lepas dari pengaruh kepentingan kepentingan diatas.
Namun di titik yg sama, kita jg punya kewajiban utk memperkuat sistem peradilan yg ada sbg bagian dr sebuah sistem kenegaraan. Itu artinya
serusak apapun sistem hrs tetap jalan dan kita berusaha memperbaikinya meski hanya seperti setitik air digurun pasir.
Begitulah, sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, seorang terdakwa sdh berubah menjadi narapidana, meski ada upaya hukum yang bisa dilakukan, yaitu Peninjauan Kembali sbg upaya hukum luar biasa, sayangnya ini tdk dpt menghalangi eksekusi.
Bunyani beruntung, karna tdk sejak awal putusan PN dinyatakan hrs ditahan, dia lebih beruntung dri AHMAD DANI dan AHOK. Terlepas dr substansi kasusnya yg "ironis" permintaan penundaan menjadi wajar diajukan pd "diskresi kejaksaan" sebagai eksekutor krn ada preseden kasus lain, kasus Baik Nuril spt yg dinyatakan oleh pengacaranya.
Tetapi artinya jg putusan pengadilan ic putusan Kasasi MA yg juridiksinya menilai dan menguji penerapan hukum, baik yg menyebut maupun yg tdk menyebut isi putusan yg hrs dijalankan, maka putusan terakhirlah yg hrs dijalankan. Demikian halnya pun Syafrudin AT bebas lepas karna putusan Kasasi MA, meski JPU KPK mengajukan upaya hukum luar biasa PK.
Lepas dr semuanya, meminjam kata yg sering digunakan sahabat senior sy bang Kamal Firdaus, dunia penegakan hukum kita itu memang "astaga". wallahu alamu bishawab.(020220)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H