Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena "Kerajaan, Kesultanan, dan Empire" Baru, Apalagi Ini?

22 Januari 2020   11:47 Diperbarui: 23 Januari 2020   03:37 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam fiksi hukum kita mengenal "setiap orang dianggap mengetahui hukum positif yang berlaku di suatu yuridiksi". 

Fiksi ini lahir berawal dari terjadinya unifikasi dan kodifikasi "hukum-hukum adat" ataupun hukum daera-daerah etnis dan hukum komunitas komunitas diwujudkan  menjadi hukum yang terunifikasi, baik karena membentuk federasi, negara kesatuan atau Union sendiri (seperti Uni Eropa). 

Oleh  karena itu setiap komunitas, suku bangsa atau apapun namanya di suatu unitas yuridiksi dianggap mengetahui hukum positif yang berlaku pada yuridiksi itu, karena termasuk hukum semua komunitas sudah dimasukan, diakomodasi dan dilebur ke dalam "Aturan yang sudah disepakati dalam unifikasi".

Begitulah kira-kira kesepakatan kerajaan-kerajaan dan kesultanan atau kekaisaran (klo di Jepang) pra kemerdekaan Indonesia. Kesepakatan para Raja, Sultan-sultan dan kaisar di Nusantara waktu itu dengan pendiri-pendiri bangsa ini untuk melebur dan bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Maka secara administratif Negara Indonesialah yang mengurus seluruh rakyat kesultanan, kerajaan-kerajaan & kekaisaran di Nusantara itu dengan harapan kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.

Itulah sebenarnya asal muasal adanya negara ini. Selain itu ada faktor lain pembebasan bersama dari kolonialisme klasik (jajah, paksa ambil hasil buminya). Berbeda dengan kolonialisme modern, kasih modal & produksi, jual di pasar lokal hasilnya dibawa ke negri penjajah.

Hiruk pikuk politik dan semakin mencuatnya ketidakadilan ekonomi (banyak penggunaan dana negara untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan kepentingan masyarakat  seperti menggaji staf-staf ahli,  wakil wakil mentri dll.

Sementara hampir semua harga yang bersentuhan dengan rakyat naik meninggalkan kemampuan ekonomis dan daya beli masyarakatnya) yang mungkin dirasakan oleh rakyat pribumi asli kerajaan-kerajaan, kesultanan-kesultanan & kekaisaran yang dulu bergabung, terutama ketiakadilan dalam ekonomi, hukum dan politik. 

Realitas inilah yang bisa jadi menjadi pemicu pemikiran sebagian oknum (bisa juga keturunannya) dari kerajaan-kerajaan, kesultanan-kesultanan dan kekaisaran dulu itu untuk kembali menghidupkan masa-masa keemasannya di Nusantara.

Sejarah mencatat tidak semua kerajaan-kerajaan, kesultanan dan kekaisaran di Nusantara dulu itu miskin, ada banyak juga yang kaya dan makmur rakyatnya karena hasil buminya.

Malah ada yang menyumbangkan modal berdirinya Negara Kesaatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan memberikan cadangan-cadangan emas mereka ke NKRI sebagaimana dilakukan oleh Kesultanan Siak Riau, Kesultanan Aceh dan lain lain. 

Karena itu "pendekatan hukum" merespon munculnya ksrajaan dan kesultanan, kesultanan dan Empir "baru" justru bisa menjadi sesuatu yang tidak produktif. 

Kekayaan budaya yang dikonvergensikan dengan parawisata (keanekaragaman pakaian, budaya, upacara adat dsb) sambil terus menerus menciptakan iklim keadilan dan dialog dialog sehat antar komunitas dalam segala aspeknya justru akan banyak membuat rakyat menjadi bahagia dan riang gembira. 

(He..he....Justru  yang harus dijaga  jangan sampai isu "NKRI Harga Mati" dijadikan proyek mencari nafkah oleh orang orang dan pihak pihak tertentu yang seolah-olah menjaga persatuan, demikian juga proyek keamanan).

Kata istri saya, yang paling siap membangun kerajaan atau kesultanan baru, ya komunitas WO (wayang orang) Barata yang kerajaannya terletak di Jalan Senen Raya itu lho, mau negara apa, semua ada tersedia: Astina seperti punya trah kurawa, Amarta miliknya trah pandawa, kurustra atau bahkan "Kerajaan Komedia" karang tumaritis (yang merintis lawak dengan model komika milenial dengan goro-goronya) dipimpin bung Semar Badranaya pun bisa. 

Mengapa ? Semua kostum kerajaan sudah tersedia, tak perlu minta sumbangan atau "menipu" dengan menjual seragam kerajaan seperti halnya yang dilakukan pengurus Keraton Agung Sejagat di Purworejo. Santuy saja dunia milik kita bersama. (tebet20120)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun