Karena itu "pendekatan hukum" merespon munculnya ksrajaan dan kesultanan, kesultanan dan Empir "baru" justru bisa menjadi sesuatu yang tidak produktif.Â
Kekayaan budaya yang dikonvergensikan dengan parawisata (keanekaragaman pakaian, budaya, upacara adat dsb) sambil terus menerus menciptakan iklim keadilan dan dialog dialog sehat antar komunitas dalam segala aspeknya justru akan banyak membuat rakyat menjadi bahagia dan riang gembira.Â
(He..he....Justru  yang harus dijaga  jangan sampai isu "NKRI Harga Mati" dijadikan proyek mencari nafkah oleh orang orang dan pihak pihak tertentu yang seolah-olah menjaga persatuan, demikian juga proyek keamanan).
Kata istri saya, yang paling siap membangun kerajaan atau kesultanan baru, ya komunitas WO (wayang orang) Barata yang kerajaannya terletak di Jalan Senen Raya itu lho, mau negara apa, semua ada tersedia: Astina seperti punya trah kurawa, Amarta miliknya trah pandawa, kurustra atau bahkan "Kerajaan Komedia" karang tumaritis (yang merintis lawak dengan model komika milenial dengan goro-goronya) dipimpin bung Semar Badranaya pun bisa.Â
Mengapa ? Semua kostum kerajaan sudah tersedia, tak perlu minta sumbangan atau "menipu" dengan menjual seragam kerajaan seperti halnya yang dilakukan pengurus Keraton Agung Sejagat di Purworejo. Santuy saja dunia milik kita bersama. (tebet20120)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H