Yang pasti laporan itu sama sekali tidak  berdimensi sengketa baik sengketa hasil maupun sengketa non hasil. Apakah pernyataan yang menjadi objek laporan itu pelanggaran pidana, ataukah hanya sekedar bernuansa "menyerang" saja yang gradasinya lebih rendah dari pelanggaran pidana. Kemungkinan yang paling minimal adalah pelanggaran etik atau pelanggaran adninistratif.
Persoalannya lagi, tidak ada forum atau mekanisme pemilu yang mewadahi pelanggaran etika oleh peserta, yang ada DKPP hanya menangani pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu. Kajian yang menarik juga bisa lahir dari pertanyaan apakah paslon capres bisa dikualifisir sebagai pejabat publik, sehingga bisa ditundukan pada ketentuan mengenai kode etik pejabat publik.
Forum yang mempertemukan paslon selain "perang pernyataan" di media cetak atau online dan media sosial, juga di arena debat, dan memang kemungkinannya tidak hanya perang pernyataan, tapi juga saling memojokan.
Bagaimanapun situasi dan suasana polarisasi di bawah tidak bisa dilepaskan dari pengaruh "perang pernyataan" paslon memperebutkan elektabilitas, yang harus diingatkan adalah bahwa persaingan ini tetap harus ditempatkan dalam konteks demokrasi, masing-masing berusaha akan berbuat baik pada rakyat, dalam diksi agama dikenal dengan term "fastabiqul khaerot". Oleh karena itu juga pernyataan "perang total" dalam konteks perhelatan demokrasi ini patut menjadi perhatian serius.
Hukum khususnya hukum pidana bisa menjadi alat pengawasan bahkan menjadi alat penghukuman. Ia akan berhenti disitu, karna hukum tidak bisa menjamin terjadinya rekonsiliasi atau perdamaian di antara para pihak yang terbelah. Akhirnya dibutuhkan kesadaran para pemimpin utamanya para paslon menempatkan kepentingan persatuan bangsa diatas segala-galanya. wallahu alamu bishawab.
abdul fickar hadjar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H