Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Melihat Relasi Seksual dan KUHP

20 Februari 2019   09:07 Diperbarui: 21 Februari 2019   08:31 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskusi dialektika demokrasi (19/2/19) dengan tema
Diskusi dialektika demokrasi (19/2/19) dengan tema
Di Jakarta, mengisi kekosongan itu diisi oleh PERDA  8/2007  tentang ketertiban umum yang menghukum semua pihak yang terlibat prostitusi, baik muncikari, pekerja seks komersial (psk) maupun penggunanya dengan hukuman yang relative ringan (kurungan min 20 hari max 90 hari, denda min 500 ribu max 30 juta). 

Sayangnya PERDA ini konteksnya ketertiban umum di luar ruang alias di jalanan, karena itu PSK dalam operasional penertibannya setara dengan gelandangan dan pengemis, artinya lagi PERDA ini tidak menjangkau juridiksi ketertiban di hotel-hotel atau di ranah online.

Soal terminologi PSK, mba Sri dari Komnas Perempuan mengajukan keberatan, istilah ini mengesankan bahwa ini pengakuan terhadap sebuah profesi. Padahal, katanya,  kenyataannya mereka yang menggeluti profesi itu lebih banyak bukan didasarkan pada "kerelaan" melainkan terjebak bahkan "di-framing" oleh pihak-pihak tertentu dalam dunia prostitusi. Dan mba Sri menyebut istilah yang lebih tepat PEDILA kepanjangan dari "Perempuan Dilacurkan".

Kita harus memilih,  saya bilang, di Belanda prostitusi itu dilegalkan yang konsekuensinya Pemerintah, selain menarik pajak, juga melindungi baik keamanan (dengan menyiapkan panic button) maupun kesehatan. Ini pernah dilakukan oleh Mantan Gubernur Ali Sadikin dengan lokalisasi Kramat Tunggak. 

Tapi memang ini bertentangan dengan pilihan kita sebagai Negara "Berketuhanan Yang Maha Esa" dan nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia, meskipun disadarai bahwa (sebagaimana dikatakan Nasir Jamil) prostitusi  berkembang bersama peradaban manusia.

Prostitusi itu harus diatur dalam KUHP dalam term-nya sendiri, jangan dikaitkan dengan perselingkuhan, karena dalam prostitusi itu ada motifnya sendiri yaitu komersial, artinya substansi yang menjadi objek kriminalisasinya adalah  "relasi seksual yang bersifat komersial".  

Relasi ini telah menghina perempuan, telah menghina kemanusiaan dan bertentangan dengan nilai-nilai Negara berketuhanan, sehingga ia menjadi delict biasa tanpa harus "diadukan" oleh korban. Jangan takut dengan konteks penegakannya, karena "muncikari" adalah alat bukti yang paling kuat.

Hukum hanyalah salah satu upaya merespon kebutuhan jawaban atas suatu permasalahan, masih banyak jawaban-jawaban yang harus kita upayakan bagi problem-problem kehidupan yang sesungguhnya. Wallahu alamu bishawab (19219)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun