Setiap kali ramadhan dengan segala keindahannya, selalu saja ada hal yang menarik dan mengharukan, yang muncul dari realita kesehariannya. Gambar diatas adalah sebuah fakta seorang anak kecil (sekitar 4 tahunan) sedang solat di tengah jamaah yang sedang dzikir ba'da Isha, tempatnya di Masjid Ulul Albab di halaman parkir Basement Bidakara. Fakta itu sesuatu yang biasa saja, tapi ceritera di balik fakta yang menarik untuk dikaji dan dipikirkan.
Pada ketika shalat Isya dan Taraweh di hari ke duapuluh tujuh ramadhan itu, dua orang anak kecil (saya kira bersaudara) duduk sederetan di shaf kedua bersama saya. Waktu Isha akan dimulai, shaf bagian depan yang persis di hadapan kedua anak itu terlihat kosong, dengan reflex sang kakak (11 tahunan) mendorong adiknya ke depan dan dengan sigap dan pede sang adik maju ke shaf pertama. Dasar anak kecil, ketika shalat Isha (4 rakaat) berlangsung, di dua rakaat pertama sang adik ini menengok kiri dan kanan bahkan ke belakang melihat sang kakak.
 Pendek ceritera selesai salam dan sedang berlangsung  dzikir, sang adik mundur ke belakang ke tempat sang kakak dan terjadilah dialog yang menarik. Sang kakak berujar : De, kamu tadi batal Ishanya nengok-nengok ! dan Sang Adik menjawab : oh gitu ya Bang, berapa bang ? Sang kakak menunjukan dua jari. Secara spontan di tengah jamaah lain  dzikir sang Adik maju  berdiri dan shalat dua rakaat seperti terlihat pada gambar.
Tidak ada yang istimewa dari peristiwa itu, tapi saya menangkap sesuatu (karna itu saya mengambil gambarnya). Â Keikut sertaan kedua anak kecil pada Isya & Taraweh (tanpa kehadiran orang tuanya) mengisyaratkan sebuah kesimpulan. Ada nilai-nilai agama yang sudah tertanam pada mereka, meskipun pemahaman rukun ritualnya belum sempurna (batal Shalat Isha itu satu paket empat rakaat, tidak bisa dibayar/diqhada/diulang tambah hanya bagian rakaat yang dianggap batal).Â
Pada umumnya orang mengetahui bahwa ritualt taraweh itu seringkali ditempatkan sebagai ritual ibadah yang menggembirakan, karenanya tidak mengherankan ketika banyak anak-anak mengikutinya. Namun demikian yang pasti jika nilai-nilai itu belum tertanam, saya kira pada level niat saja pun mungkin tidak ada, apalagi jika dibandingkan dengan "keasyikan" bermain gaget yang kini hampir menjadi "kebutuhan" setiap anak generasi Z di Indonesia.
Demikian juga kesediaan mengakui kesalahan mau memperbaiki dan "membayar" kekurangannya atau sportivitas dalam peristiwa itu harus diapresiasi. Saya kira ini modal masa depan yang baik, ditengah suasana sosial eksisting "yang terlalu amat sangat politis" dan menyuburkan perspektif  "kawan-lawan". Â
Apakah nilai-nilai ini akan dapat menghapus rasa pesimisme kita menghadapi kehidupan masa depan ? Tentu saja tergantung pada semua kita dalam merawatnya, demikian halnya tidak bisa kita lepaskan dari peran keluarga-keluarga yang melahirkan, mengasuh dan merawatnya. Anak-anak (cucu-cucu kita) ini disebut sebagai "generasi Z" adalah hasil produk orang tua mereka generasi millennial (Y)..
Generasi Z (lahir tahun 1995-2010) merupakan generasi digital yang lahir ditengah perkembangan pesat teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer. Buat mereka  informasi menjadi sesuatu yang mudah diakses dengan cepat dan mudah. Melalui media ini mereka jadi lebih bebas berekspresi dengan apa yang dirasa dan dipikir secara spontan.Â
Tidak terlalu berbeda juga dengan generasi diatasnya (Y), mereka juga cenderung toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli dengan lingkungan. Multi tasking, terbiasa dengan berbagai aktifitas dalam satu waktu yang bersamaan, membaca, berbicara, menonton, dan mendengarkan musik secara bersamaan dari satu telpon pintar (smart phone). Ini terjadi karena mereka menginginkan segala sesuatu serba cepat, tidak bertele-tele dan berbelit-belit.
Gen Z Indonesia punya kekhususan karena lahir dimasa awal reformasi melewati beberapa peristiwa besar : peralihan pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokrasi langsung, pemilihan umum kepala daerah (pilkada) yang penuh dengan money politik, pemberantasan korupsi melalui OTT KPK. Sehingga sisi negative gen Z ini, selain cenderung kurang dalam berkomunikasi secara verbal, cenderung egosentris dan individualis, cenderung ingin serba instan, tidak sabaran, dan tidak menghargai proses, juga percaya "money politic" itu bisa menjadi solusi menyelesaikan persoalan.Â
Ini yang sangat berbahaya, karena semangat inovatif yang mendasari pengembangan teknologi informasi, mengerahkan segala cara yang halal bisa berubah menjadi menghalalkan segala cara (machiavelis) dalam peraihan suatu prestasi (realitas hari ini banyak ditemui di dunia peradilan dan perolehan proyek-proyek pemerintahan melalui "tender"-tender yang berujung gratifikasi dan OTT KPK).