Pada waktu lalu sebelum dilakukan perubahan, Pasal 27 jo 45 UU ITE itu merupakan tindak pidana biasa yang mempunyai ancaman hukuman 6 tahun penjara, artinya tanpa dilaporkan oleh korban (orang yang merasa dirugikan) sekalipun, tindak pidana ini bisa diproses oleh penyidik (polisi- tidak jarang bias juga) dan pelakunya bisa langsung ditahan.
Banyak menimbulkan korban dalam penerapannya, seorang pasien (konsumen) yang mengeluhkan pelayanan Rumah sakit melalu email kepada beberapa orang temannya bisa dipenjara – ingat kasus prita --, atau seorang istri satpam yang membuat status keluhan di Facebook karena suaminya di PHK juga harus masuk penjara, karena itu kemudian dilakukan perubahan tindak pidananya dirubah menjadi “delik aduan” artinya jika tidak diadukan oleh korban, polisi tidak bisa semena-mena memprosesnya.
Hoax dalam konteks pemberitaan yang tidak jelas juntrungan pembuatnya, memang tidak bisa dijerat oleh UU Pers, karena itu agak sulit membedakan mana Pers yang Mainstream mana yang Pers Hoax. Jika pada zaman orde baru agak mudah, karena pers mainstream adalah pers yang berizin, sedangkan pada saat ini pers tanpa izin. Masyarakatpun bisa membuat sebuah liputan dan menulis di situsnya atau di blognya, atau diakun media sosialnya yang jika dilihat materi dan substansinya bisa juga lebih baik dari berita-berita di media mainstream.
Karena itu saya mengingatkan pada Pemerintah, meski ada dasar hukum untuk memblokir situs-situs yang Hoax, tetapi tidak boleh sewenang-wenang menutup atau memblokirnya jika belum jelas dan belum ada proses pemeriksaan kesalahannya. Maksud saya Pemerintah tidak bisa sekaligus menjadi Regulator, pelaksana dan sekaligus menjadi judikatif sebagai penghukum dan pengeksekusinya. Ini namanya otoritarian, tiga kekuasaan sekaligus melekat pada satu tangan, meskipun tujuannya melindungi masyarakat terutama anak-anak dan generasi muda kita, tetapi kita tidak boleh juga menegasikan proses-proses hukum yang adil, terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan.
Apapun, kebebasan berpendapat, kebebasan mengeluarkan pikiran tidak boleh dikesampingkan, tidak boleh dilarang dalam keadaan apapun karena selain itu HAM sebagai amanat konstitusi (UUD) kita, juga inilah hasil jerih payah kita selama beberapa orde pemerintahan yang sudah cukup banyak korban dan energy yang dikeluarkan bangsa ini untuk mencapai peradaban seperti sekarang ini.
Kita tidak mau Negara khususnya rezim yang berkuasa mengatur pikiran kita, karena apapun ceriteranya “kebebasan berpendapat” merupakan partikel penting dalam kosmologi demokrasi. Apapun teori atau defenisi tentang demokrasi, baik sebagai sebuah konsep filosofis maupun sosiologis, kebebasan berpendapat adalah keniscayaan sebagai konsekwensi logis dari kebebasan berpikir. Hukum itu mengadili perbuatan bukan pikiran. Wallahualamu bishawab (KyaiTapa, 20012017)
Sumber tambahan: batampos.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H