Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Brexit, Post-Sekularisme dan Bulan Puasa

26 Juni 2016   13:43 Diperbarui: 29 Juni 2016   14:07 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu saja Brexit terjadi bukan hanya persoalan membanjirnya para pengungsi ke pusat-pusat peradaban Eropah termasuk Inggris, masih ada sebab lain misalnya krisis ekonomi kawasan Eropah sejak 2007-2008, yang melahirkan situasi saling menyalahkan menuding menjadi sumber kekacauan ekonomi. Neraca perdagangan Ingrris makin besar defisitnya terhadap Jerman, dominasi ekonomi Jerman ditengah keterpurukan perekonomian negara lain sesama kawasan Eropah, secara umum negara Eropah bagian selatan merasa deficit neraca perdagangannya  ditengah membesarnya surplus negara Eropa bagian utara khususnya Jerman. Namun demikian tidak mustahil sentiment kaum tua Inggris terhadap membludaknya pengungungsi Suriah akan menstimulir bergulirnya factor agama menjadi isu public. Inilah situasi yang secara akademik didefenisikan terjadinya post-sekularisme, dimana persepsi kawan-lawan dikaitkan dengan agama.

&

Selain bidang hukum yang digeluti, saya juga tertarik pada filsafat dan tidak membatasi diri pada timur atau barat. Sudah beberapa kali mencoba menggoreskan pena menulis soal ini tapi tetap merasa gagal (baca: REALITAS dalam perspektif Filsafat Ilmu) Karena itu polemic tulisan (tepatnya tulisan yang saling melengkapi) tentang Post-Sekularisme di SKH Kompas  antara F Budi Hardiman (FBH-pengajar Filsafat Politik STF Dryakara tgl 7/06/2016)  dan M Dawam Raharjo (MDR-Direktur LSAF tanggal 23/06/2016) sangat menarik untuk diikuti. Temanya berkisar antara pergeseran (kembali) atau kebangkitan global agama menggeser sekularisme.

Dalam tulisannya FBH mensinyalir terjadinya perubahan lanskap intelektual di negara-negara yang selama ini dikenal sebagai Negara-negara sekular, konstelasi intelektual baru itu bernama post-sekularisme.[1]  Tesis tentang sekularisasi (yang dianut sejak abad-abad lalu dengan pemikirnya seperti August Comte, Feurbach, Marx dan Freud) yang menganggap “agama” seperti ilusi kolektif yang akan ditinggalkan ketika sains, teknologi dan rasionalitas sekuler mendominasi masyarakat, ternyata tesis ini tidak pernah terbukti, malah terbukti gugur.

Terjadinya tragedy-tragedi kemanusiaan berupa rentetan aksi terror Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan gelombang pengungsi Suriah ke pusat-pusat peradaban Eropah menjadi dasar perubahan lanskap intelektual ini. Kekuatan ekstrem kanan yang anti migran meningkat tajam popularitasnya. Persepsi kawan-lawan yang dikaitkan dengan agama mulai tumbuh, Ini berarti “agama” menjadi isu public yang perlu dikalkulasi. Dunia tidak sepenuhnya skuler, sekuler sekaligus religious.

Brexit dan post-sekularisme[2]

Baru saja (24/06/2016 kemarin) Inggis memisahkan diri dari Uni Eropah (EU) dengan berdasar referendum, hasilnya 52% lawan 48% untuk kemenangan Brexit (istilah yang dipahami sebagai British Exit from UE), yang juga menyebabkan David Cameron (pendukung UE) mengundurkan diri sebagai PM Ingrris. Jika diperhatikan keputusan para pendukung Brexit itu tidak bisa dipisahkan dari perkembangan terkini di kawasan Eropah, Perkembangan isu imigran (gelombang pengungsi Suriah ke pusat-pusat peradaban Eropah) menjadi pemicu penting, terutama bagi kelompok tua di Inggris, mereka tidak rela tanah air leluhurnya dibanjiri pendatang,  meskipun generasi mudanya jauh lebih flexible melihat isu soial ini. Situasi ini hamper sama dengan ketika “mata uang Euro” akan dirilis, generasi tua cenderung resisten dengan argument sentimental tidak ingin kenangan masa lalunya hilang bersama lenyapnya symbol kebanggaan yang ada di mata uang setiap negara.

Tentu saja Brexit terjadi bukan hanya persoalan membanjirnya para pengungsi ke pusat-pusat peradaban Eropah termasuk Inggris, masih ada sebab lain misalnya krisis ekonomi kawasan Eropah sejak 2007-2008, yang melahirkan situasi saling menyalahkan menuding menjadi sumber kekacauan ekonomi. Neraca perdagangan Ingrris makin besar defisitnya terhadap Jerman, dominasi ekonomi Jerman ditengah keterpurukan perekonomian negara lain sesama kawasan Eropah, secara umum negara Eropah bagian selatan merasa deficit neraca perdagangannya ditengah membesarnya surplus negara Eropa bagian utara khususnya Jerman. Namun demikian tidak mustahil sentiment kaum tua Inggris terhadap membludaknya pengungungsi Suriah akan menstimulir bergulirnya factor agama menjadi isu public. Inilah situasi yang secara akademik didefenisikan terjadinya post-sekularisme, dimana persepsi kawan-lawan dikaitkan dengan agama.

Konteks Indonesia

Indonesia belum post-sekular karena belum sekuler. Tesis ini keliru karena globalisasi skulerisme tidak menghasilkan sekularisme global, melainkan multiple scularisms, Indonesia agama tidak harus kembali karena tidak pernah pergi (di negeri ini telalu banyak hal yang dikaitkan dengan agama). Post-sekularisme Eropah mengandalkan sekularisme yang matang, sehingga prosedur negara hukum demokratis menjadi flatformdialog agama dan sekularitas. Menurut Habermas, disini agama ditransformasikan menjadi lebih “rasional”, inilah inti Post-sekularisme, proses belajar antara agama dan sekularitas dalam masyarakat majemuk.  Karena itu dalam masyarakat serba agama seperti Indonesia (ada Majelis Ulama, berkembangnya ekonomi syariah) tidaklah tepat memahami post-skularisme sebagai penguatan kembali peran public agama karena agama sudah terlalu kuat.  Jika di Barat skularitas ditantang untuk belajar mendengarkan agama kembali, di Indonesia justru sebaliknya: Agama ditantang untuk belajar dari sekularitas agar tidak menyepelekan kemanusiaan.  

Sementara itu MDR dalam tulisannya “Post-sekularisme dan Post-Islamisme”, di Indonesia kesepakatan mengenai tata kelola masyarakat yang majemuk  memerulakn kesepakatan yang tumpang tindih (yang menurut FBH melalui demokrasi deliberative Habermas terkandung dalam Pancasila, Nurcholis Madjid menyebutnya pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai kalimatun sawa atau titik temu antar doktrin komprehensif dan agama yang berkembang di Indonesia). Indonesia tidak mengalami orde post-sekularisme, karena Indonesia hanya mengalami “sekularisasi”[3],  sebagaimana juga dianjurkan oleh Nurcholis Madjid tahun 1970an (jargon yang diperkenalkan Islam Yes, Partai Islam No – catatan red--).

Dalam perkembangannya sekularisasi besar-besaran terjadi pada masa Orde Baru melalui kebijakan depolitisasi terhadap gerakan Islam yang memuncak dengan ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal (1985). Meski begitu artikulasi Islam sebagai doktrin komprehensif tetap berkembang, hanya saja telah telah terjadi migrasi Islam dari ruang public politik ke ruang public budaya (terjadi perkembangan pesat terjadinya integrasi social varian “abangan” dan “santri” (Clifford Geeertz) dengan gejala maraknya pembangunan masjid tidak hanya oleh masyarakat tapi juga Negara serta meningkatnya pelaksanaan Syariat Islam).

Kesepakatan dasar Negara (sebagai moderasi asas sekularisme) berdasar dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menetapkan “Piagam Jakarta merupakan bagian tak terpisahkan dari UUD45’, konsekwensinya terbuka peluang penerapan hukum syariat Islam melalui mekanisme demokrasi. Ini terjadi melalui regulasi syariat Islam bidang social ekonomi dalam hukum positif, antara lain UU Zakat, UU Wakaf dan UU Keuangan Syariah (-- selain itu dalam bidang Ibadah ada UU Haji). Itulah post-sekularisme yang terjadi di Indonesia, bentuknya adalah afirmasi terhadap penerimaan doktrin komprehensif.     

Tak ada perbedaan mendasar antara FBH dan MDR, karena tesisnya tentang Post-sekularisme global (baca Eropah) saling melengkapi, utamanya ketika pembahasan dalam konteks Indonesia. Post-sekularisme tidak pernah terjadi di Indonesia, karena yang terjadi sekularisasi, sementara peran agama terus berkembang di ruang public budaya meski bukan pada ruang politik. Proses saling belajar agama dan sekularitas bukan hal baru bagi kita di Indonesia, karena Pancasila adalah konvergensi dari keduanya.

Bulan Puasa & Post-sekularisme

Seperti biasa bulan puasa selalu menjadi ruang waktu yang penuh bernuansa religious, karena selain satu hari kerja penuh semua orang menjalankan perintah agamanya (maksud saya setiap orang yang beragama Islam, meski banyak juga yang tidak melaksanakan) berpuasa, juga melakukan ritual-ritual keagamaan lainnya baik yang bersifat individual (Taraweh,  tadarusan dan itikaf di Mesjid) maupun ibadah yang berdimensi social seperti zakat, infak dan shodakoh. Kegiatan yang bernuansa religious sesungguhnya tidak melulu terjadi pada bulan puasa saja, terutama dalam kegiatan social ekonomi misalnya transaksi ekonomi syariah sudah menjadi bagian dari kehidupan bangs Indonesia, bahkan tidak terbatas pada masyarakat yang beragama Islam saja. Demikian halnya rumah-rumah ibadah terutama Masjid meski tak selalu penuh (biasanya penuh hanya pada bulan puasa) menjadi pusat-pusat kegiatan keagamaan yang tak pernah sepi. Yang ingin saya katakan, Agama di negeri kita selalu menjadi bagian hidup keseharian kita, sehingga meski relasi social kita seringkali sekular (jual beli, pinjam meminjam dan sebagainya) tetap ada nuansa agama mewarnai kehidupan kita (misalnya: keabsahan perkawinan terkait dengan religositas seseorang).  

Sejalan dengan pendapatnya FBH dan MDR bahwa di Indonesia adalah masyarakat serba agama, pada kenyataannya tidak terlepas dari hadirnya dua organisasi keagamaan besar yang lahir sebelum Indonesia merdeka, yaitu MUHAMMADYAH dan NAHDLATUL ULAMA (NU). Dua organisasi keagamaan ini selalu mengawal kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan sebagaimana pernyataan MDR  bahwa resepsi syariat Islam pada beberapa regulasi[4]  selalu dilakukan oleh dua organisasi ini. Lajnah Tajrih Muhammadyah dan Lembaga Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama (NU) adalah dua lembaga kajian yang selalu berusaha menempatkan nilai-nilai hukum Islam dapat mengisi ketentuan-ketentuan dalam hukum positif Indonesia (UU dan peraturan perundangan lainnya) sebagai suatu ijtihad hukum (melalui metodologi ushul fiqh, qiyas/analogi, istihsan/pemakaian opsi terbaik, istishlah/kemaslahatan, dll) memberikan kontribusi bagi pembangunan hukum nasional Indonesia.

 Itulah sebabnya sekitar 2004-2009 saya berusaha ikut bergiat di Lembaga Bathsul Mashail NU khususnya Batsul Mashail Dinniyah Qonuniyah, pembahasan masalah keagamaan dalam perpektif hukum positif Indonesia, dan mencoba ikut mewarnainya, khususnya yang berkaitan dengan hukum ketatanegaraan  (Amandemen UUD 45 kelima), Hukum Acara Pidana (optimalisasi penegakan hukum pemberantasan Korupsi, dan kemungkinan dilakukannya penuntutan kembali kasus-kasus BLBI). Karena itu saya sepakat pada kedua penulis bahwa Indonesia tidak pernah akan melampaui zaman yang dalam lanskap intelektual disebut Post-sekularisme, karena agama dan nilai-nilainya selalu hidup sepanjang hari, sepanjang zaman dalam ruang dan waktu Indonesia. Sayangnya di negeri kita ini terlalu banyak orang yang religious yaitu orang yang baik dalam urusan ibadah ritual saja, tapi sangat sedikit orang yang spiritualis yaitu orang yang baik dalam semua urusan, karena setiap urusan adalah ibadah. Wallahu alamu bishawab (Jatibening26/06/2016)

[1]  Istilah Post-sekularisme sering disejajarkan sebagai kembaran post-modernisme, meskipun belum ada defenisi yang disepakati literature filsafat dan forum-forum akademis di eropah.  Kata sekularisme berasal dari kata sculum yang berarti zaman, pada abad pertengahan “sekularisasi” diartikan sebagai proses  seorang rahib meninggalkan biaranya dan kembali ke masyarakat. Pada perkembangannya kemudian “sekularisasi” dimaknai sebagai menjadi sekuler berarti menjauh dari unsur religious.

[2] Sub judul ini sepenuhnya analisis penulis.

[3] Indonesia belum menyepakati asas sekularisme sebagai wacana final.

[4] tidak terbatas hanya pada yang berkaitan langsung seperti UU Zakat, Wakaf, Ekonomi Syariah atau UU Haji saja tapi secara substansi sebenarnya nilai-nilai Syariah hamper mewarnai seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun