Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Brexit, Post-Sekularisme dan Bulan Puasa

26 Juni 2016   13:43 Diperbarui: 29 Juni 2016   14:07 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam perkembangannya sekularisasi besar-besaran terjadi pada masa Orde Baru melalui kebijakan depolitisasi terhadap gerakan Islam yang memuncak dengan ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal (1985). Meski begitu artikulasi Islam sebagai doktrin komprehensif tetap berkembang, hanya saja telah telah terjadi migrasi Islam dari ruang public politik ke ruang public budaya (terjadi perkembangan pesat terjadinya integrasi social varian “abangan” dan “santri” (Clifford Geeertz) dengan gejala maraknya pembangunan masjid tidak hanya oleh masyarakat tapi juga Negara serta meningkatnya pelaksanaan Syariat Islam).

Kesepakatan dasar Negara (sebagai moderasi asas sekularisme) berdasar dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menetapkan “Piagam Jakarta merupakan bagian tak terpisahkan dari UUD45’, konsekwensinya terbuka peluang penerapan hukum syariat Islam melalui mekanisme demokrasi. Ini terjadi melalui regulasi syariat Islam bidang social ekonomi dalam hukum positif, antara lain UU Zakat, UU Wakaf dan UU Keuangan Syariah (-- selain itu dalam bidang Ibadah ada UU Haji). Itulah post-sekularisme yang terjadi di Indonesia, bentuknya adalah afirmasi terhadap penerimaan doktrin komprehensif.     

Tak ada perbedaan mendasar antara FBH dan MDR, karena tesisnya tentang Post-sekularisme global (baca Eropah) saling melengkapi, utamanya ketika pembahasan dalam konteks Indonesia. Post-sekularisme tidak pernah terjadi di Indonesia, karena yang terjadi sekularisasi, sementara peran agama terus berkembang di ruang public budaya meski bukan pada ruang politik. Proses saling belajar agama dan sekularitas bukan hal baru bagi kita di Indonesia, karena Pancasila adalah konvergensi dari keduanya.

Bulan Puasa & Post-sekularisme

Seperti biasa bulan puasa selalu menjadi ruang waktu yang penuh bernuansa religious, karena selain satu hari kerja penuh semua orang menjalankan perintah agamanya (maksud saya setiap orang yang beragama Islam, meski banyak juga yang tidak melaksanakan) berpuasa, juga melakukan ritual-ritual keagamaan lainnya baik yang bersifat individual (Taraweh,  tadarusan dan itikaf di Mesjid) maupun ibadah yang berdimensi social seperti zakat, infak dan shodakoh. Kegiatan yang bernuansa religious sesungguhnya tidak melulu terjadi pada bulan puasa saja, terutama dalam kegiatan social ekonomi misalnya transaksi ekonomi syariah sudah menjadi bagian dari kehidupan bangs Indonesia, bahkan tidak terbatas pada masyarakat yang beragama Islam saja. Demikian halnya rumah-rumah ibadah terutama Masjid meski tak selalu penuh (biasanya penuh hanya pada bulan puasa) menjadi pusat-pusat kegiatan keagamaan yang tak pernah sepi. Yang ingin saya katakan, Agama di negeri kita selalu menjadi bagian hidup keseharian kita, sehingga meski relasi social kita seringkali sekular (jual beli, pinjam meminjam dan sebagainya) tetap ada nuansa agama mewarnai kehidupan kita (misalnya: keabsahan perkawinan terkait dengan religositas seseorang).  

Sejalan dengan pendapatnya FBH dan MDR bahwa di Indonesia adalah masyarakat serba agama, pada kenyataannya tidak terlepas dari hadirnya dua organisasi keagamaan besar yang lahir sebelum Indonesia merdeka, yaitu MUHAMMADYAH dan NAHDLATUL ULAMA (NU). Dua organisasi keagamaan ini selalu mengawal kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan sebagaimana pernyataan MDR  bahwa resepsi syariat Islam pada beberapa regulasi[4]  selalu dilakukan oleh dua organisasi ini. Lajnah Tajrih Muhammadyah dan Lembaga Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama (NU) adalah dua lembaga kajian yang selalu berusaha menempatkan nilai-nilai hukum Islam dapat mengisi ketentuan-ketentuan dalam hukum positif Indonesia (UU dan peraturan perundangan lainnya) sebagai suatu ijtihad hukum (melalui metodologi ushul fiqh, qiyas/analogi, istihsan/pemakaian opsi terbaik, istishlah/kemaslahatan, dll) memberikan kontribusi bagi pembangunan hukum nasional Indonesia.

 Itulah sebabnya sekitar 2004-2009 saya berusaha ikut bergiat di Lembaga Bathsul Mashail NU khususnya Batsul Mashail Dinniyah Qonuniyah, pembahasan masalah keagamaan dalam perpektif hukum positif Indonesia, dan mencoba ikut mewarnainya, khususnya yang berkaitan dengan hukum ketatanegaraan  (Amandemen UUD 45 kelima), Hukum Acara Pidana (optimalisasi penegakan hukum pemberantasan Korupsi, dan kemungkinan dilakukannya penuntutan kembali kasus-kasus BLBI). Karena itu saya sepakat pada kedua penulis bahwa Indonesia tidak pernah akan melampaui zaman yang dalam lanskap intelektual disebut Post-sekularisme, karena agama dan nilai-nilainya selalu hidup sepanjang hari, sepanjang zaman dalam ruang dan waktu Indonesia. Sayangnya di negeri kita ini terlalu banyak orang yang religious yaitu orang yang baik dalam urusan ibadah ritual saja, tapi sangat sedikit orang yang spiritualis yaitu orang yang baik dalam semua urusan, karena setiap urusan adalah ibadah. Wallahu alamu bishawab (Jatibening26/06/2016)

[1]  Istilah Post-sekularisme sering disejajarkan sebagai kembaran post-modernisme, meskipun belum ada defenisi yang disepakati literature filsafat dan forum-forum akademis di eropah.  Kata sekularisme berasal dari kata sculum yang berarti zaman, pada abad pertengahan “sekularisasi” diartikan sebagai proses  seorang rahib meninggalkan biaranya dan kembali ke masyarakat. Pada perkembangannya kemudian “sekularisasi” dimaknai sebagai menjadi sekuler berarti menjauh dari unsur religious.

[2] Sub judul ini sepenuhnya analisis penulis.

[3] Indonesia belum menyepakati asas sekularisme sebagai wacana final.

[4] tidak terbatas hanya pada yang berkaitan langsung seperti UU Zakat, Wakaf, Ekonomi Syariah atau UU Haji saja tapi secara substansi sebenarnya nilai-nilai Syariah hamper mewarnai seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun