Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

RUU Kuhap: Memperkuat Pemberantasan Korupsi

12 November 2014   08:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:01 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Putusan MA tidak boleh lebih berat dari putusan peradilan di bawahnya;
Pasal 250 RUU KUHAP menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Dalam penjelasan naskah akademiknya dikemukakan argument bahwa karena putusan Mahkamah Agung tidak menyangkut fakta atau pembuktian, melainkan menyangkut penerapan hukum, oleh karena itu serupa dengan beberapa KUHAP Negara lain, putusan MA tidak boleh lebih berat dari pada putusan pengadilan tinggi.

Ketentuan ini dirasakan dan dikemukakan oleh beberapa kalangan (termasuk Hakim) ketentuan yang tidak logis dan jelas telah mengintervensi kemandirian hakim serta berlebihan, karena pembatasan terhadap penjatuhan hukuman telah dilakukan oleh KUHP maupun UU lain yang mengatur hukuman maksimal dan minimal khusus.

PENYADAPAN
Penyadapan memang merupakan pelanggaran yang serius atas privacy seseorang, dan karena itu sangat ketat aturannya. Hanya diperkenankan terhadap tindak pidana yang ditetapkan dalam UU dan dilakukan dengan pembatasan berupa ijin dari Hakim Komisasris dan untuk waktu terbatas.

Penyadapan ini sebenarnya merupakan “upaya-paksa luar-biasa” yang “ampuh” di Indonesia untuk menanggulangi wabah korupsi, khususnya penyuapan. Namun, KPK pun harus menyadari bahwa bahaya “penyalahgunaan kekuasaan” juga besar. Karena KUHAP berlaku umum tidak hanya berlaku bagi KPK, maka dapat diatur agar untuk KPK oleh MA ditunjuk seorang HakimKomisaris khusus yang berasal dari MA.

*) Makalah pada diskusi ”Merancang KUHAP yang berpihak pada Pemberantasan Korupsi”, ICW. 11 Nopember 2011.
1) Boy Marjono Reksodipoetro menyatakan : ada kerancuan dalam peristilahan di Indonesia yang menamakan Hakim sebagai “penegak hukum”. Istilah “penegak hukum” ini berasal dari bahasa Inggris “law enforcement (officer)”, yang merujuk pada petugas kepolisian dan Jaksa Penuntut Umum (prosecutor). Salah kaprah ini membawa akibat (sampingan) bahwa di Indonesia Hakim lebih mengidentifikasikan dirinya dengan JPU daripada berdiri secara netral (bukan pihak dalam perkara). Seharusnya hakim adalah “penegak keadilan” (dalam bahasa Ingggris “Judge”=Penilai dan “Justice”=Pemberi Keadilan). (Makalah RUU KUHAP dalam konteks Efektifitas Penanganan Tipikor, KPK 25 September 2013);
2) M yahya Harahap dalam Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, menyeb utkan bahwa pada masa berlakunya HIR aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa & Hakim) tergolong kelompok alat kekuasaan (instrument of power) yang menitik beratkan setiap orientasinya pada kekuasaan semata dalam fungsi dan wewenang yang ada padanya (Pustaka Kartini, 1985, halaman 36).
3) Yang dimaksud dengan “para pihak berlawanan secara berimbang” adalah yang dikenal dengan sistem adversarial yang harus menjamin keseimbangan antara hak penyidik, hak penuntut umum, dan/atau hak tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana. Dengan demikian, penerapan hukum acara pidana di Indonesia merupakan perpaduan antara sistem Eropa Kontinental dengan sistem adversarial. (Penjelasan Umum RUU KUHAP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun