Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

RUU Kuhap: Memperkuat Pemberantasan Korupsi

12 November 2014   08:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:01 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aktivitas penyelidikan inilah yang banyak melahirkan banyaknya tindak pidana korupsi yang tertangkap tangan, karena memang dalam konteks penyeleidikan ini KPK mempunyai kewenangan untuk menyadap, memerintahkan pencekalan, pemblokiran bank dan lainnya, sehingga dengan kewenangan inilah KPK melakukan banyak operasi Tangkap Tangan (OTT). Keberhasilan KPK selama ini umumnya berasal dari proses penyelidikan yang dilakukan, dan jika lembaga “penyelidikan” ini dihilangkan, maka akan sulit bagi KPK menangkp banyak koruptor dimasa yang akan dating.

Dalam sebuah diskusi, beberapa orang penyusun RUU KUHAP (al Prof. Andi Hamzah) menyatakan bahwa lembaga “penyelidikan” tidak dihapus hanya digabung dengan “penyidikan” dan salah satun alasanya menghilangkan “ruang abu-abu” yang banyak dimanfaatkan oknum-oknum. Argumen ini dapat diterima, jika dalam konteks pemberantasan korupsi, KPK juga diberikan kewenangan penghentian penyidikan (SP3), namun kenyataannya berdasarkan UU KPK tidak mempunyai kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Berbeda halnya dengan penyelidikan yang belum masuk pada “ranah projustisial” KPK dapat menghentikan.

Apakah penghilangan lembaga penyelidikan atau penyatuan dengan lembaga penyidikan dalam RUU KUHAP berpotensi “membunuh” atau setidaknya melemahkan KPK ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, setidaknya ada dua alternatif yang dapat dilakuan:

1.Dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan:
“Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan dan berdasarkan undang-undang hukum acara pidana yang berlaku (ic KUHAP-red) dan berdasarkan Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Dengan ketentuan ini, dapatlah ditafsirkan bahwa apa yang tidak diatur (atau dihilangkan) dalam hukum acara pidana (KUHAP) dan UU No. 31 tahun 1999, tetapi diatur dalam UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka ketentuan-ketentuan khususnya mengenai “penyelidikan” harus tetap berlaku, sepanjang belum dibatalkan. Keberlakuan ini didasarkan pada pengecualian dan berlakunya asas lex specialis derogate lex generalie, sehingga baik “eksistensi lembaga penyelidikan”: maupun kewenangannya (menyadap, memerintahkan pencekalan, pemblokiran bank dan lainnya) tetap berlaku.

2.Dibuat ketentuan bahwa karena peranan KPK yang khusus dalam menangani korupsi di Indonesia, maka dalam hukum acara pidana yang berlaku untuk KPK tetap dilengkapi dengan lembaga “penyelidikan”.

3.Memperkuat kemampuan sumber daya manusia KPK khususnya di bidang penyidikan dan menyusun prosedur-prosedur yang memungkinkan tindaka-tindakan penyelidikan dapat dilakukan dalam keadaan tertentu (mencekal tanpa izin dsb).

Tentang Hakim Komisaris

Dalam Pasal 1 butir 7 RUU KUHAP, Hakim Komisaris didefenisikan sebagai pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam Undang-Undang. Lembaga ini untuk menggantikan lembaga praperadilan yang selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya, Hakim Komisaris ini pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain pihak. Wewenang hakim komisaris lebih luas dan lebih lengkap daripada prapenuntutan (lembaga praperadilan).

Kewenangan Praperadilan (Pasal 1 butir 10, Pasal 77, Pasal 95, Pasal 97 KUHAP)
a.Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan;
b.Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan.
c.Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi.
d.Memeriksa permintaan rehabilitasi.
e.Praperadilan terhadap tindakan penyitaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun