Mohon tunggu...
Fibrisio H Marbun
Fibrisio H Marbun Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan kaki

Tertarik dengan sepakbola, sosial budaya, dan humaniora.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jalan Panjang Petani Jagung di Luat Habinsaran

14 April 2023   21:23 Diperbarui: 15 April 2023   08:32 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjemur Jagung/ Istimewa

Tahun 1952, Ir. Soekarno memberikan akronim petani, yakni penyangga tatanan negara Indonesia. Sebuah ungkapan retoris, sama hal dengan petani sebagai profesi mulia. Ungkapan yang tak sesuai realita di sawah dan ladang tempat petani berpeluh keringat. Tak lebih mereka hanyalah buruh tani. Mereka hanyalah buruh bagi tengkulak. Menyedihkan sekali bukan?

Realita di lapangan, petani lahan kering di Habinsaran hanyalah anak tiri bari Pemerintah Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Bukan tanpa alasan, di saat para petani daerah lain seperti Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara sudah menggalakkan mekanisasi pertanian, petani-petani di Habinsaran masih mengandalkan cangkul dan arit untuk mengolah lahannya. Bukankah pemerintah seharusnya memfasilitas para petani untuk memperoleh alat-alat pertanian modern?

Sesungguhnya, petani sudah aktif melalui kelompok-kelompok tani mengusulkan proposal bantua alat pertanian berupa traktor roda 4. Akan tetapi proposal yang diusulkan saat reses anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara hingga kini tak tahu dimana rimbanya. Disaat para petani sudah aktif, justru pemerintah memilih bungkam.

Lemahnya perhatian pemerintah tidak hanya soal mekanisasi pertanian, soal pupuk bersubsidi juga. Setiap awal tahun, kelompok tani selalu menyusun Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), akan tetapi realisasinya, pupuk yang didapatkan petani jauh dari usulan RDKK. Bagaimana petani mau maju jika tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah?

Beralih ke Pupuk Organik

Terbatasnya jumlah pupuk subsidi. Tercatat alokasi tahun 2022 hanya sekitar 37-42 % dari total kebutuhan petani di Indonesia. Di sisi lain, mahalnya pupuk non subsidi, mengakibatkan meningkatnya ongkos produksi. Situasi ini membuat para petani mulai beralih ke alternatif lain, yakni penggunaan pupuk organik.

Konsep ini tentunya sejalan dengan filosofi Batak sinur na pinahan gabe na ni ula, pertanian terintegrasi antara peternakan dan pertanian. Pertanian akan ditopang peternakan, mulai pengolahan menggunakan luku sapi atau kerbau, juga pemupukan menggunakan kompos ternak.

Bahan baku yang melimpah seperti hijauan, sekam padi serta kotoran ternak sesungguhnya menjadi potensi yang cukup besar. Akan tetapi, potensi ini harus didukung dengan infrastruktur berupa teknologi tepat guna seperti mesin pencacah rumput dan pengaduk pupuk organik seperti cultivator. Petani tentunya mengharapkan perhatian khusus dari pemerintah untuk memfasilitasi pengadaan infrastruktur pendukung pembuatan pupuk organik tersebut.

Diharapkan dengan pertanian organik ini produksi pertanian semakin meningkat, sehingga status ekonomi para petani juga semakin membaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun