Asas hukum Retroaktif atau Ex Post Facto adalah asas yang dilarang di sebagian besar Negara di seluruh dunia terutama dalam kasus pidana berat seperti pidana yang menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM) yang disidangkan oleh Pengadilan HAM dan Ad Hoc. Urgensi tersebut dikarenakan kejahatan HAM merupakan kejahatan yang sifatnya meluas dan jumlah korbannya banyak dalam artian luas terdapat kepentingan public dimana Ex Post Facto diberlakukan. Perlu diketahui bahwa hukum retroaktif terbagi menjadi 2 (dua) macam yakni Hukum Retroaktif Sedatif dan Hukum Retroaktif Ased, hal tersebut bergantung kepada Undang-undang baru yakni UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP bekerja pada sebuah fakta kasus yang telah berakhir ataukah kasus tersebut masih berlangsung hingga saat ini.
Bagaimanapun hukuman pidana adalah asas legalitas, bukan terjadinya suatu kasus yang membuat suatu perubahan dalam hukum pidana yang tidak lebih dari membenarkan isi hukum. Dalam system hukum Indonesia suatu Pledoi yang menerapkan pembelaan fakta-fakta persidangan yang menimbulkan suatu penyebab tindakan. Sehingga cukup mensyaratkan bahwa suatu pengaduan harus menegaskan penyebab tindakan yang diakui secara hukum dan harus menyatakan fakta yang membawa kasus tertentu ke dalam penyebab tindakan tersebut.
Lebih jauh lagi berkenaan dalam hukum Pidana Ex Post Facto menimbulkan ketidakpastian hukum dari awalnya yang hukumannya ringan menjadi lebih berat karena terjadinya suatu kasus (Double Jeopardy). Selain itu hal negative yang terjadi dapat mengkriminalisasi tindakan setiap orang yang dianggap lumrah menjadi tindak Pidana. Dalam kasus seperti ini umumnya hukuman yang diberlakukan kepada pelaku kejahatan adalah hukuman yang lebih menguntungkan atau dengan kata lain tidak boleh lebih tinggi dari ketika hukuman tersebut dijatuhkan. Dalam prinsipnya hal ini disebut sebagai Lex Mitior (hukum yang lebih meringankan). Sejauh pemahaman penulis terdapat suatu prinsip yang cukup dikenal dan secara tidak langsung berpengaruh dalam pembelaan seorang pelaku pidana, yakni "Nulla Poene Sini Lege" yang berarti seseorang tidak dapat dihukum karena sesuatu yang tidak dilarang oleh undang-undang.
 Dalam konsepsinya Nulla Poene Sini Lege  menjadi 4 (empat) bagian yang diterima di beberapa Negara demokratis modern. Pertama, Nulla Poena Sini Lege Praevia, yang berarti tidak ada hukuman tanpa undang-undang sebelumnya. Kedua, Nulla Poena Sini Lege Stricta, yang berarti tidak ada hukum tanpa hukum yang pasti, yang melarang analogi dalam penerapan perundang-undangan hukum pidana. Ketiga, Nulla Poena Lege Scripta, yang berarti tidak ada hukum tanpa hukum tertulis. Keempat, Nulla Poena Lege Certa, yang berarti tidak ada hukuman tanpa hukuman yang jelas.
Contoh konkrit dari hukum Ex Post facto terjadi pada Amnesti yang diberikan oleh Presiden sebagai hak yudisialnya kepada seorang pelaku hukum tertentu. Temuan tersebut dapat kita lihat dimana seseorang yang mendapatkan hukuman mati berubah menjadi pidana seumur hidup. Â
Dari kejadian di atas hukum Ex Post Facto selain berpotensi memiliki tindakan yang salah dalam perilaku, maka juga berpotensi terhadap kekeliruan pemikiran (fallacy) dari masyarakat awam yang tidak mengerti karena dampak buruk yang ditimbulkan dari hukum Ex Post Facto. Salah satunya adalah Silogisme Entimem yang hanya sepotong-sepotong berujung kepada Argumentasi yang tidak valid (Paralogy). Dari kejadian yang sifatnya bersinggungan dengan politik dan hukum. Maka, masyarakat awam yang tidak mengetahui hukum dan Politik di Indonesia akan berkata "Keadilan itu salah dan Politik itu Buruk". Paralogy semacam ini adalah paralogi yang umum ditemukan di Indonesia, hal tersebut digunakan dalam wacana sebuah media massa untuk mengacaukan dan mengaburkan pandangan publik dalam mengambil kesimpulan dari silogisme yang benar dengan menyembunyikan suatu premis. Seharunya premis yang benar adalah Peradilan seringkali mengambil suatu Putusan sebagai suatu keadilan, banyak Politisi yang buruk dalam kasus Ex Post Facto amnesti adalah Presiden. Padahal kekuasaan kehakiman dan kekuasaan Presiden adalah 2 (dua) buah kekuasaan yang terpisah.
Kembali kepada pertanyaan bahwa dalam sudut pandang yang berhak memberikan argumentasi hukum yakni profesi Advokat itu sendiri. Penulis memiliki narasi dimana hukum Ex Post Facto ini dapat membebaskan seseorang dari dakwaan atau tuntutan hukum. Contohnya adalah si X adalah seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di Rusia selama 7 (tujuh) tahun terakhir, dirinya selama beberapa tahun terakhir mengkonsumsi obat-obatan yang terindikasi sebagai New Psychoactive Substance (NPS) dikarenakan pekerjaannya yang kerap mendapatkan tekanan sehingga dapat mengalami stress, obat anti-depresan tersebut adalah Amineptine dalam jumlah yang massif dan diperoleh dari Psikiater disana. Pada tahun tersebut juga dirinya memutuskan untuk kembali ke Indonesia, dan sesampainya di Indonesia pihak Bea Cukai mendeteksi adanya zat yang tidak wajar di dalam tasnya dan mencoba menghubungi Kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan dibuktikan melalui tes urine positif sebagai jenis Narkotika.
Maka dalam sidang pledoi maka kasus ini seharusnya dapat dimenangkan oleh si X dan pengacaranya dan si X hanya wajib menjalani rehabilitasi saja. Hal tersebut dikarenakan Amineptine belum termasuk 91 daftar hitam NPS yang dilarang beredar oleh Permenkes maupun Narkotika Golongan II maupun Golongan III dalam UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika menurut Indonesia Drug Reports 2023 Â yang dirilis oleh BNN, dimana terdapat 1150 jenis NPS yang tersebar di 37 Negara di dunia, sedangkan di Indonesia sendiri 85 dari 91 NPS tersebut yang baru didaftarkan ke Kementrian Kesehatan, yang mana secara matematis terbuka peluang untuk 1059 NPS tersebut beredar tanpa terdeteksi. Prinsip yang mendukung, yakni Nulla Poena Sine Culpa yang berarti tidak seorangpun atas sesuatu yang bukan kesalahnnya jika dilihat dari narasi dia mendapatkan resep dan obat tersebut dari seorang psikiater di Rusia.
Pada pertanyaan apakah Argumentasi Hukum bisa berlaku Ex Post Facto ? maka jawaban pribadi maka jawaban penulis bergantung kepada Jenis Sistem Hukum dan Konstitusi Negara masing-masing di dunia, yang tidak menutup kemungkinan untuk dikatakan "bisa". Jika pertanyaannya Indonesia maka sejauh ini telah dijawab diatas pada Pengadilan HAM terkait tindak pidana Terorisme yang dilakukan oleh Masykur Abdul Kadir pada 2002 dan sampai saat ini kasus masih menjadi satu-satunya tersebut yang bersifat Ex Post Facto.
Namun, jika ditanya di luar Indonesia maka penulis meembaginya kedalam beberapa kategori. Pertama, Negara yang benar benar memperbolehkan hukum Ex-Post Facto seperti Albania, India dan Israel. Kedua, Negara yang memperboleh hukum Ex-Post Facto namun telah menandatangani perjanjian Internasional dan meratifikasinya maka hukum Ex-Post Facto tersebut dilarang dan tidak berlaku lagi seperti Britania Raya dan Lithuania. Ketiga, Negara yang secara parsial memberlakukannya untuk Hukum Pidana, namun tidak untuk Hukum Perdata seperti Finlandia dan Rusia. Keempat, adalah antitesa dari kategori ketiga yakni diberlakukan untuk hukum Perdata, namun tidak untuk Hukum Pidana seperti Hungaria, Swedia, dan Prancis. Kelima, adalah keterbalikan dari kategori kedua yakni melarang hukum Ex Post Facto dalam konstitusinya namun diperbolehkan jika melanggar hukum Internasional seperti Afrika Selatan. Â Keenam, melarang hukum Ex-Post Facto dengan syarat limitatif dan dengan kualifikasi keadaan yang mendesak seperti Vietnam. Ketujuh, melarang secara parsial karena negaranya bersifat federal seperti Jerman dan Amerika Serikat. Kedelapan, melarang secara total baik Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan Hukum Administratif seperti Iran dan Portugal.
Melakukan pembelaan dengan argumentasi hukum di Negara yang mengizinkan hukum Ex Post Facto merupakan tantangan yang amat serius. Karena dalam hal ini dibutuhkan ahli hukum yang kompeten, senior, dan berpengalaman. Secara strategi peluang untuk memenangkan kasus memerlukan pemahaman dar beberapa pembelaan kasus sukses melalui Banding dengan situasi khusus yang memerlukan kecermatan terhadap peraturan perundang-undangan yang relevan dan diterapkan secara Ex Post Facto tersebut. Peluang untuk memenangkan kasus akan tipis dan terbatas jika asas Ex Post Facto termaktub dalam konstitusinya. Sehingga, selain memberikan argument penasehat hukum juga perlu menghubungi Organisasi Hak Asasi Manusia sebagai saksi yang meringankan manakala hak dalam peradilan orang tersebut dilanggar.
Penulis mencoba memvalidasi beberapa diantara delapan kategori tersebut menjadi sebuah skema argumentasi hukum dalam pembelaan yang menggunakan konsep hukum Ex Post Facto disertai oleh deskripsi penulis.
- Kalimat Resmi Pembelaan Adolf Eichmann yang terlibat Holocaust di Pengadilan Israel.
- "Penangkapan Israel atas Adolf Eichmann tidak hanya merupakan pertunjukan kekuasaan, akan tetapi kesempatan bagi sesama manusia untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Saya, selaku pengacara Adolf Eichmann secara pribadi mengatahui bahwa dalam system hukum kita sah dalam melakukan hukum Retroaktif untuk melakukan penangkapan kepada pelaku kejahatan sebelum Negara Israel berdiri. Sehingga saya memiliki tanggung jawab yang besar dengan tekad untuk memastikan bahwa proses hukum ini berjalan sesuai dengan prinsip-prinsipnya."
- "Penting untuk diingat bahwa saya tidak membela perbuatan tuan Eichmann ataupun ideology Nazi. Namun saya menyatakan pendapat bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil dalam system hukum. Bahwa seluruh orang dalam pengadilan ini dengan integritas dan penuh kejujuran dengan tanpa maksud untuk mengkaburkan kejahatan yang telah dilakukan oleh tuan Eichmann, dengan argument memastikan keadilan sejati dijanlankan."
- "Peradilan ini bukan hanya bertujuan untuk mengadili tuan Eichmann, akan tetapi menunjukkan kegagalan masyrakat Internasional yang tidak dapat mencegah Holocaust. Sehingga putusan final dalam pengadilan ini mengingatkan pentingnya untuk memahami sejarah"
- Kalimat Resmi Pembelaan Mikhail Khodorkovsky, CEO Yukos Oil yang terlibat Penggelapan Pajak dan Pencucian Uang di Mahkamah Agung Rusia
- "Yang terhormat kepada Yang Mulia Hakim, kami sebagai tim kuasa hukum kami telah berusaha sekuat tenaga untuk menghadirkan saksi ahli dengan pengetahuan khusus mereka di bidang ekonomi dan akuntasi untuk melepaskan klien kami dari tuntutan hukum. Bahwa klien kami dalam kasus ini juga mendapatkan tuntutan hukum yang bersifat politis karena tidak sejalah dengan Pemerintah Rusia yang sah, Presiden Vladimir Putin. Bahwa saksi yang dihadirkan dalam persidangan ini telah memberikan keabsahan dan telah menyangkal klaim jaksa."
- "Atas tuntutan jaksa dengan mengajukan kasus-kasus serupa di masa lampau terhitung sejak kemerdekaan Rusia 1992, kami mewakili klien kami juga mengajukan kasus-kasus serupa sebagai Preseden Hukum untuk memperjuangkan hasil hukum yang sama. Kami secara keberatan dan beberapa kasus yang telah diajukan jaksa salah satunya terlalu lemah dan telah dibatalkan. Maka selama proses penelusuran kasus dan dalam Banding ini kami secara persuasif memohon kepada hakim bahwa klien kami telah kooperatif dalam pengadilan untuk seorang yang dikatakan sebagai pembangkang politik. Bahwa sebelum persidangan ini klien kami orang yang gemar melakukan kegiatan amal dan secara aktif membantu perekonomian Negara untuk memohon dibebaskan dari segala tuntutan"
- Kalimat Pembelaan Mantan Menteri Keuangan Prancis dalam Kasus Perdata kepemilikan rekening di Bank Swiss di Pengadilan Administratif Prancis tahun 2016.
- "Pertama-tama kami sebagai tim kuasa hukum Monseur Jerome Andre Cahuzac menyampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum dan Majelis hakim yang bertugas untuk menerangkan bahwa dalam kasus ini adalah murni ketidaktahuan implikasi hukum klien kami akibat tindakannya dan telah mengakui kesalahannya di hadapan Pengadilan. Dirinya tidak menyangkal bahwa fakta Rekening Bank di Bank Swiss adalah benar miliknya. Kedua, secara proporsional dan atas nama keadilan kami memohon kepada Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim untuk meringankan segala Sanksi yang diberikan kepadanya atas dasar belum ada peraturan tertulis atas kejadian ini. Ketiga, dirinya bertindak kooperatif selama pemerikasaan berlangsung dengan menyatakan bersedia untuk membayar denda pajak kepada otoritas pajak dan telah meminta maaf serta telah mengutarakan rasa menyesal atas kehilafan dan perbuatan yang telah disampaikan oleh Monseur Cahuzac sendiri bahwa tindakannya tidak memiliki unsur kesengajaan yang berpotensi mengarah kepada pidana pencucian uang."
- Kalimat Resmi Pembelaan Helmut St. dalam Pembunuhan disertai Pemerkosaan Heike Wunderlich 1987, pada Banding Pengadilan Federal Leipzig tahun 2017
- " Bahwa kami memohon kepada Yang Mulia Hakim, bahwa Klien kami tuan Helmut St telah mengalami keterbatasan berbicara karena memiliki riwayat penyakit stroke pada usianya yang ke-62 tahun sehingga tidak dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri. Selain itu, kami mengajukan keberatan atas dasar DNA yang terurai di pakaian korban dan dapat hilang sewaktu-waktu."
Dalam seluruh penjabaran terperinci yang telah diterangkan oleh yang telah dijabarkan di atas  bahwa Argumentasi Hukum yang berlaku surut atau Ex Post Facto sebetulnya memiliki dampak positif terhadap beberapa kasus diantaranya; Penegakan terhadap pelaku kejahatan dapat dikejar yang sebelumnya lolos, Pemulihan Aset secara privat maupun Negara yang telah disembunyaikan baik orang biasa maupun pejabat Negara, Memperbaiki system Hukum di Suatu Negara, Pengahpusan hukuman yang diskriminatif bagi golongan tertentu, dan Penyelesaian sengketa yang disertai resolusi. Meskipun setelah melalui berbagai kalkulasi lebih banyak hal yang bersifat negative dan merugikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H