Mohon tunggu...
Fianisa
Fianisa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswi

Tidur adalah kesukaan, belajar adalah keharusan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Mungkinkah Kita Memiliki Hidup hingga 2050?

9 Mei 2024   11:45 Diperbarui: 9 Mei 2024   11:47 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : bogor.tribunnews.com

Mungkin, jika memiliki keinginan mengubah kebiasaan.

Manusia akan mengalami kehancuran dalam tiga dekade. Inilah hasil dari penelitian para ilmuwan dalam "Skenario 2050". Jangan seolah olah menutup mata dengan hal ini. Peneliti juga berpendapat  bahwa saat ini kita sedang berada pada situasi unik, dimana dengan suhu tinggi yang belum pernah dirasakan sebelumnya serta jumlah populasi hampir delapan miliar orang.

Setiap dekade bumi akan menghangat dengan kenaikan yang cukup signifikan. Sehingga di tahun 2050 nanti, diperkirakan akan ada konsensus ilmiah terkait titik kritis lapisan es di Greenland dan  Antartika Barat dengan pemanasan 2. Pada tahap ini, dampak terhadap manusia tidak bisa disangkal lagi.

Sebanyak 55% populasi global akan menjadi subjek dari panas mematikan selama 20 hari dan tentunya manusia akan sulit bertahan dalam kondisi demikian. Saat ini, kita memasuki dekade pertama dimana bumi mulai memanas dan kita mulai mengeluh. Bisakah membayangkan ketika suatu hari bumi lebih panas dan kita terlambat memperbaikinya?

Tidak sedikit generasi muda sadar dengan kecerobohan manusia dan masih banyak pula yang secara tidak sadar membantu kepunahan massal.

Aktivis lingkungan mulai bergerak serta menggerakkan. Dari langkah kecil seperti, penanaman bibit pohon, mengajak mengurangi penggunakan plastik dan menggantinya dengan bahan reusable, dan banyak anak muda Indonesia berperan dalam ranah internasional dengan menemukan atau membuat terobosan baru.

Tetapi ancaman semakin terlihat. Beberapa tahun yang lalu, tepatnya 15 Maret 2021, langit Kota Beijing berwarna oranye. Bukan cantik dan elok. Sebelumnya disebut sebagai akibat dari badai pasir besar, sebenarnya itu adalah badai debu. Hal ini sering terjadi di China dan merambah dampaknya dalam lanskap Tiongkok. Tetapi ini yang terparah hingga level partikel polutan kecil PM2,5 yang bisa masuk ke dalam paru paru, di Beijing mencapai 600 mikrogram di berbagai area kota tersebut. Padahal WHO merekomendasikan rata rata konsentrasi larutan tersebut secara harian tak melebihi 25 mikrogram.

Sumber : Liputan6.com
Sumber : Liputan6.com

Kejadian ini pula tidak jauh jauh dari ulah manusia bersamaan dengan proses alami. Dimana terjadi peningkatan populasi dan penguatan sirkulasi monsun Asia ditambah dengan kondisi gurun disana yang sangat gersang hingga mudah terkikis. Jangan lupakan tentang polusi udara dari pabrik dan lainnya yang memperparah situasi ini.

Para pemimpin disana berencana untuk membangun "Tembok Hijau Raksasa" atau pepohonanan dalam skala besar serta memberi sanksi berat pada pabrik yang gagal menjalankan upaya pencegahan asap darurat. Dikutip dari era.id.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun