Aku adalah Airmata
Airmata ibuku jatuh ke tanah
menjadi mataair dari bebukit hijau kelam
sumber embun dan hawa pagi
Lumbung kosong terjatuh airmata ibu
Aneh, nasi tetap ada di piring-piring
Kulahap hingga tak tertinggal sebiji,
Tanah merana berubah basah
“Itu tetes airmata ibu pada petak-petak sawah.”
Tempat Ia menitip anakan padi dengan pasrah
Airmatanya meleleh pada pematang rapuh
Menumbuhkan rerumputan bambu penjaga padi
Pelembut panas terik matahari,
Padi mekar, berbuah, merona, dan menguning
Teriring tetes-tetes airmata ibu
Isak tangisnya ucapan syukur untuk Roh-Mu
Yang merawat anak-anaknya hingga besar;
memberinya intisari hidup;
menegakkan kepala saat mereka tertunduk,
Aku adalah airmata ibu sehari-hari
terjatuh pada rumpun-rumpun padi
pedih keringatnya pada kulit ari.
Penjahit Air Mata
Tetes-tetes air mata tak menghentikan jari-jemari dan kakinya
Menjadikan airmata benang-benang serupa rumah laba-laba
Ia memintalnya menjadi jaring-jaring halus tak terkulai waktu
Jari-jari keriput ibu tak berhenti menenun air mata
Hingga lembar-lembar kehidupan berwarna sederhana
Menjadi cerita hingga dewasa
Untuk ibuku yang menjahit airmata
Yang mengenakannya kepadaku seperti jubah para imam
Bak pakaian para pesohor
Ibu penjahit airmata
Mengalirkan duka menyubur suka
Tak mengeluh ia dalam lembut
Menyambung benang-benang terputus
Melembutkan waktu yang keras
Melegakan lambung yang kosong
Ibu menjahit hidupku seperti hujan
Membasahi pedihnya airmata
Meninggalkan mataair yang tak bakal hilang
Untukmu penjahit air mata
Tak ada pakaian paling bermakna
Tak ada juga kata-kata paling bermakna
Hanya jemariku menadah sejuk airmatamu.
Untukmu Tubuhku
Tubuhku yang ditinggal ari-ari,
Membungkus daging dengan kulit ari,
Janganlah menangisi aku saat aku berdosa,
Saat tubuhku menjauhi rahmat.
“Jiwaku merana tak bertuan.”
Untukmu tubuhku,
Yang menghindar malam paling gelap,
Yang bersuka ria semasa pagi,
Gelisah menjelang senja.
Peluklah aku yang takhluk cahaya,
Gelap saat gerhana,
Kosong saat malam tak berbintang.
Tubuhku darah sejarah
Lupakanlah salah
Maafkan duka, teduhkan hamba.
Ruteng-Flores, 3 Maret 2016, dari koleksi Syair-Syair untuk Ibu.
Fian Roger lahir pada 10 Juli 1987 di Kampung Ruteng-Manggarai, pernah belajar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dan Sekolah Demokrasi (LAP Timoris & KID), jurnalis pada Harian Umum Victory News, enumerator pada Institute of Resource Governance and Social Change, dan penyiar relawan di Radio Manggarai, 94,70 FM. Fian adalah “pembaca yang menulis sebagai pemula” di Kompasiana, Flores Muda, dan Flores Sastra serta menulis esai-esai politik di nusalale.com. Saat ini bersama beberapa sahabat, menginisiasi penerbitan untuk parlemen lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H