Mohon tunggu...
Fian Roger
Fian Roger Mohon Tunggu... -

Wartawan dan Pencinta Sastra. Tinggal di Ruteng, Flores.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sajak-sajak Ibu

15 Maret 2016   20:53 Diperbarui: 15 Maret 2016   21:14 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah Airmata

 

Airmata ibuku jatuh ke tanah

menjadi mataair dari bebukit hijau kelam

sumber embun dan hawa pagi

 

Lumbung kosong terjatuh airmata ibu

Aneh, nasi tetap ada di piring-piring

Kulahap hingga tak tertinggal sebiji,

 

Tanah merana berubah basah

“Itu tetes airmata ibu pada petak-petak sawah.”

Tempat Ia menitip anakan padi dengan pasrah

 

Airmatanya meleleh pada pematang rapuh

Menumbuhkan rerumputan bambu penjaga padi

Pelembut panas terik matahari,

 

Padi mekar, berbuah, merona, dan menguning

Teriring tetes-tetes airmata ibu

Isak tangisnya ucapan syukur untuk Roh-Mu

Yang merawat anak-anaknya hingga besar;

memberinya intisari hidup;

menegakkan kepala saat mereka tertunduk,

 

Aku adalah airmata ibu sehari-hari

terjatuh pada rumpun-rumpun padi

pedih keringatnya pada kulit ari.

 

Penjahit Air Mata

 

Tetes-tetes air mata tak menghentikan jari-jemari dan kakinya

Menjadikan airmata benang-benang serupa rumah laba-laba

Ia memintalnya menjadi jaring-jaring halus tak terkulai waktu

 

Jari-jari keriput ibu tak berhenti menenun air mata

Hingga lembar-lembar kehidupan berwarna sederhana

Menjadi cerita hingga dewasa

 

Untuk ibuku yang menjahit airmata

Yang mengenakannya kepadaku seperti jubah para imam

Bak pakaian para pesohor

 

Ibu penjahit airmata

Mengalirkan duka menyubur suka

Tak mengeluh ia dalam lembut

Menyambung benang-benang terputus

Melembutkan waktu yang keras

Melegakan lambung yang kosong

 

Ibu menjahit hidupku seperti hujan

Membasahi pedihnya airmata

Meninggalkan mataair yang tak bakal hilang

 

Untukmu penjahit air mata

Tak ada pakaian paling bermakna

Tak ada juga kata-kata paling bermakna

Hanya jemariku menadah sejuk airmatamu.

 

Untukmu Tubuhku

 

Tubuhku yang ditinggal ari-ari,

Membungkus daging dengan kulit ari,

Janganlah menangisi aku saat aku berdosa,

Saat tubuhku menjauhi rahmat.

 

“Jiwaku merana tak bertuan.”

 

Untukmu tubuhku,

Yang menghindar malam paling gelap,

Yang bersuka ria semasa pagi,

Gelisah menjelang senja.

 

Peluklah aku yang takhluk cahaya,

Gelap saat gerhana,

Kosong saat malam tak berbintang.

Tubuhku darah sejarah

Lupakanlah salah

 

Maafkan duka, teduhkan hamba.

 

Ruteng-Flores, 3 Maret 2016, dari koleksi Syair-Syair untuk Ibu.

 

Fian Roger lahir pada 10 Juli 1987 di Kampung Ruteng-Manggarai, pernah belajar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dan Sekolah Demokrasi (LAP Timoris & KID), jurnalis pada Harian Umum Victory News, enumerator pada Institute of Resource Governance and Social Change, dan penyiar relawan di Radio Manggarai, 94,70 FM. Fian adalah “pembaca yang menulis sebagai pemula” di Kompasiana, Flores Muda, dan Flores Sastra serta menulis esai-esai politik di nusalale.com. Saat ini bersama beberapa sahabat, menginisiasi penerbitan untuk parlemen lokal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun