22 Februari 2009. Kakakku dari Semarang memberi kabar. Kiriman ibu sudah sampai. Dia bertanya. Kapan kira-kira keluarga besar mendengar kabar gembira. Kabar aku pulang bersama Para Pimpinan Tertinggi. Saat aku dijemput memakai ayam putih di gerbang kampung.
"Mama sudah menjahitkan kasula buat kamu," itu bunyi pesan itu.Seperti hantaman palu di otak kecil. Sampai-sampai neuron berkunang-kunang terhentak tak manjawab.Sudah delapan bulan tak kuberi kabar apapun kepada kerabat. Yang kukabarkan pada halaman Facebook-ku adalah tubuhku yang mengurus karena rambut keritingku semakim membulat besar.Â
"Kok frater ikut gaya anak rasta. Kayak guide di Labuan Bajo saja. Wkwkwkwkwk," sebuah akun mengolok aku. Gayaku memang sudah seperti itu. Mungkin penemuan diri baru dan tak lazim. Biarkan rambut itu tumbuh liar dan membulat. Toh Milin masih menyukainya. Masih mengelusnya dan mencium baunya saban pagi.
Hiks hiks hiks. Idih bau shampo dan rokok batangan tidak bisa dibedakan ya? Kata Milin. Hehehehe. Itu bau lelaki kekasihku. Kalau terlalu wangi nanti aku dikira penjual parfum.
* * *
Kiriman itu hampir membatu. Sebuah kofer berisi beberapa kain dan selempang bermotif Songke. Di dalamnya ada beberapa barang berbahan logam ringan berwarna emas.Katanya kiriman itu hasil urunan keluarga besar. Isinya barang-barang sakral yang akan disucikan Bapak Uskup. Sebulan sudah kiriman itu membatu. Membeku bersama perasanku. Kebingunganku pun menjadi seperti kofer perjalanan, masih digembok dan berdebu.
Beberapa kali Perempuan Sambasku menegur aku keras. Sebab kebingunganku membuat murung dan membuat Kota Yogyakarta jadi sangar. "Jadi, kapan kamu dapat surat pelepasan kaul? Tanya Milin.
Tidak tahu kekasihku. Sudah setahun aku tak menginjak Biara. Aku pergi begitu saja kala itu. Seperti orang yang bingung dan tanpa arah. Meski cintamu kekasihku sudah terarah karena perutmu sudah terisi hasrat kita.Tapi, aku tak rela menjawab perempuan renta di ujung telefon yang selalu menanyakan kabar dan perkembanganku.
"Jujur saja ya," pintanya. Iya. Jujur itu mudah kekasihku. Tapi kalimat jujur itu kita mulai dengan kata apa. Memangnya jujur itu terbuat dari apa? Apa jujur tidak mengandung rasa takut dan malu?
Ibuku. Perempuan tua di ujung telefon dan rindu. Dia seorang penjahit tua yang sudah tidak lama lagi bersukacita dengan nasib. Dia selalu berharap aku kembali. Kembali dan mengenakan kain sakral jahitannya. Kain yang ia sulam sendiri dengan jemari keriput.
Terus apa kita akan menatap terus kofer itu dan membiarkannya menatap kita yang lagi bercinta? Dan jawabannya selalu kita cari di pagi-pagi berikutnya.Kami putuskan membuka kofer kiriman itu pada Jumat pagi buta saat Yogyakarta masih membiarkan para kekasih saling mengusap.Di dalamnya ada Kasula yang indah bermotif Songke hitam rajutan tangan dan berbenang asli.