Mohon tunggu...
Nurul Arifiani
Nurul Arifiani Mohon Tunggu... -

~jalani, nikmati, syukuri~

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Alat Ukur Keperjakaan

24 Desember 2013   09:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Itu alat untuk apa pak?" tanya anak-anak kepada seorang rekan guru, Pak Penjas biasanya beliau dipanggil. Guru Pendidikan Jasmani ini sedang menenteng suatu benda mirip Speedometer yang biasanya dipakai anak jurusan tekhnik mesin saat praktek.

"Sini-sini, mau nggak diukur?" jawab pak penjas sambil melambaikan tangan ke kerumunan anak-anak lelaki berseragam abu-abu yang sedang menikmati istirahat di teras kelas.

Kontan anak-anak yang ingin tahu ada apa, mengitari pak Penjas ini, dan belum sempat sepuluh menit, sebagian anak-anak tiba-tiba berlari menjauhi pak Penjas.

Pak penjas pun tertawa sambil memanggil-manggil mereka supaya kembali, tapi anak-anak ini bersikukuh menjauh dan ada yang lari sembunyi dari pandangan pak Penjas.

Saya yang sedari tadi mengamati mereka, mendekati pak Penjas sambil menanyakan ada apa kiranya. Beliaupun menceritakan sambil terkekeh-kekeh.

"Ini loh bu, anak-anak ini langsung lari waktu saya jawab kalau alat ini adalah alat untuk mengukur keperjakaan, dan saya pingin tes anak-anak ini masih perjaka atau tidak," jelasnya.

Emang ada ya pak alat mengukur keperjakaan, tanya saya penasaran. Cara ngujinya gimana pak? sambung saya.

Beliau pun tersenyum sambil menjelaskan, "Gampang kok bu, ujung sensor kabel ini diletakkan di dengkul anak-anak, kalau jarum pada pengukurnya berjalan ke arah kanan, berarti masih perjaka, kalau tetap ditempatnya (nggak jalan) atau hanya bergeser sedikit berarti sudah nggak perjaka."

OOowhhh. Saya pun agak tertegun dengan penjelasannya yang baru kali ini saya dengar. Kemudian saya  menggatuk-gatukkan alat ukur pak Penjas ini dengan sebuah mitos tentang keperjakaan yang bisa ditebak dengan bunyi dengkul lelaki. kalau bunyinya nyaring maka katanya masih perjaka, tapi kalau sudah hambar (kopong) katanya sudah tidak perjaka lagi. kalau menurut sains sih masih belum ada penjelasan yang baku tentang mitos ini.

Terus kenapa anak-anak itu pada lari? tanya saya heran.

Sebelum pak Penjas menjawab, memori otak saya refleks memutar ulang kejadian-kejadian siswa siswi yang putus sekolah akibat harus menikah. Wajah siswa siswi itu masih lekat dimata saya, wajah yang masih kanak-kanak, lugu, dan tidak menyiratkan kalau mereka telah mengenal bahkan melakukan seks pra nikah.

"Saya juga heran bu," jawab pak Penjas dengan wajah prihatin.

"iya pak, padahal ini di desa ya. Belum banyak tersentuh dengan modernisasi dan gaya hidup bebas. Tapi ternyata seks bebas juga masuk desa, dan yang lebih memprihatinkan, mereka yang melakukan masih usia sekolah, belum begitu paham resiko."

"Sekarang nggak kota, nggak desa, sama saja bu. Mereka punya libido yang sama. Tapi apakah hal ini berarti kita gagal mendidik mereka?" gumam pak Penjas.

"Entahlah pak, tapi kita sudah mengupayakan penyadaran bagi anak-anak dengan pendidikan karakter. Pendidikan moral dan agama juga diberi. BP pun aktif memberikan penyuluhan bagi anak-anak. Sekolah sudah berperan, tinggal dilingkungan dan keluarganya, apakah ikut berpartisipasi atau tidak." jawab saya.

Ah sebenarnya, lingkungan dan apalagi keluarga, bukan hanya berpartisipasi saja, tapi merupakan pilar utama dalam menyokong perilaku anak. Apalagi zaman sekarang, ketika arus informasi sudah sedemikian mudahnya didapat, norma sosial yang mulai bergeser, butuh filter yang lebih rapat agar anak-anak ini, sebagai penerus masa depan bangsa, bisa survive dan terhindar dari hal-hal negatif, termasuk dari perilaku seks yang belum saatnya. Dan itu tidak bisa didapat hanya dengan mengandalkan peran sekolah.

Saya teringat dengan sebuah penelitian yang berisi tentang begitu mudahnya kita mengajarkan materi normatif, namun harus butuh waktu panjang untuk menanamkan empati dan akhlak. Kita hanya butuh waktu kurang lebih 3 bulan saja untuk mengajarkan anak pandai calistung, tapi butuh waktu 15 tahun untuk mengajarkan anak empati dan peduli, baik peduli lingkungan maupun diri sendiri.

Faktor awam resiko dan pertahanan yang lemah, merupakan faktor yang dominan dimiliki anak-anak yang mudah terkontaminasi pergaulan tidak sehat. Kurangnya percaya diri membuat anak memiliki perilaku submisif dan gampang ikut-ikutan. Apalagi dimasa pubertas, masa-masa ABG dimana mereka lebih condong terpengaruh teman, terpengaruh mode masa kini, terpengaruh hal-hal yang lagi "in". Termasuk pada pengaruh pergaulan lawan jenis yang saat ini sudah pada taraf yang menghawatirkan.

Apalagi untuk anak lelaki, yang mungkin lebih mudah menutupi perilaku seks pranikahnya ketimbang wanita. Anak-anak lelaki inilah yang harus lebih dididik menjadi manusia bertanggungjawab. Manusia yang menghargai wanita dengan tidak menyentuhnya sebelum mereka berada pada ikatan yang sah, di waktu yang sudah saatnya nanti.

"Eh, tapi ngomong-ngomong cara kerja alat itu gimana pak? " tanya saya penasaran.

"Hehe, wong ini Avometer kok bu, alat mengukur besaran listrik. Tadi saya cuma mau ngetes anak-anak saja, apa berani di tes keperjakaannya atau tidak, ternyata banyak yang lari. Bikin saya curiga."

"Owalah pak. Kirain beneran alat uji keperjakaan. Tapi ya heran juga anak-anak banyak yang lari. Ya semoga bukan karena takut ketahuan gak perjaka. Tapi takut dengkulnya kesetrum." jawab saya sambil meringis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun