"Aku mau keluar sebentar." Ucap Langit sambil beranjak dari tempat duduknya. Nenek dan Arlo hanya memandangnya pergi. Wajah khawatir jelas terpampang jelas di wajah mereka. Sikap langit yang dingin dan tak adanya senyum yang mengembang di wajahnya sudah cukup membuat Nenek dan Kakek terus menerus khawatir dengannya. Karena, Langit dulu adalah anak yang periang. Pelangi indah selalu menghiasi wajahnya. Tidak seperti sekarang.
***
Langit berjalan pelan menuju sebuah pohon rindang dekat sungai kecil yang berarus tenang. Pohon itu memang tempat favoritnya. Tenang, sejuk, dan, hening. Tak ada suara lain selain hembusan angin dan suara gemericik air yang menenangkan. Langit duduk tepat di bawah pohon rindang itu dan memejamkan mata. Menikmati hembusan semilir angin dan suara gemericik air.
"Hai!" Langit membuka matanya sedikit. Seorang bocah lelaki seusianya berdiri tepat di depannya. Setelah membuka mata sempurna, Langit hanya memandangnya beberapa saat, lalu kembali memejamkan mata. Tak peduli seperti biasanya.
"Namaku Kai, kamu?"
"Bisakah kau pergi dan tidak menggangguku?" ucap Langit dengan mata yang tetap terpejam.
"Kau hanya tinggal menyebutkan namamu."
"Langit. Namaku Langit."
"Nama yang bagus. Apa kedua orang tuamu yang memberikan nama itu?" Langit hening sejenak, lalu membuka matanya.
"Aku tak punya orang tua."
"Kenapa?"