Mohon tunggu...
Nur Luthfia Kasturi
Nur Luthfia Kasturi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Fintech Syariah di Indonesia dalam Perspektif Maqashid Syariah

22 Juni 2022   18:50 Diperbarui: 22 Juni 2022   19:03 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama: Nur Luthfia Kasturi

NIM: 042111433048

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Prodi Ekonomi Islam

Hubungan Antara Fintech Syariah dengan Maqashid Syariah

Pada  dasarnya  akad  yang  terdapat  dalam Fintech tidak  bertentangan  selagi tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Selain itu, Fintech Merujuk kepada salah satu asas muamalah yaitu an-taradhin yang memiliki arti saling ridho diantara kedua belah pihak. Atas dasar inilah akad atau transaksi yang terjadi diantara kedua belah pihak menjadi sah. 

Berbeda  dengan  lembaga  keuangan konvensional,  lembaga keuangan syariah  harus mendasari  operasionalnya  dengan  prinsip  syariah  yakni  pelarangan  atas riba, gharar dan maysir sehingga lebih menekankan kepada sistem bagi hasil (profit and loss sharing) sebagai penggantinya. 

Para pakar muslim  sudah  banyak  yang  menjelaskan  bahwa  landasan  bunga (interest)  sangat  dilarang  karena  dapat menimbulkan terjadinya ketidakadilan (injustice) dalam tatanan ekonomi masyarakat. 

Sebaliknya,  lembaga ekonomi syariah secara konsepsional didasarkan atas  prinsip  kemitraan  berdasarkan  kesetaraan (equity) keadilan fairness),  kejujuran (transparan), dan hanya  mencari  keuntungan yang  halal  semata  (falah oriented). Kenyamanan  yang  diberikan  atas  transaksi  melalui Fintech Berbasis  syariah  tidak lepas dari karakteristik bisnis syariah yang bersandar kepada pondasi ekonomi syariah yaitu ketuhanan (ilahiah), keadilan (al-adl), kenabian (an-nubuwwah), pemerintahan (al-khilafah), dan hasil (ma’ad). 

Akad Fintech Syariah

Berbeda dengan fintech konvensional, fintech syariah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi islam, seperti larangan bunga atau riba, skema akad, tidak dilakukan dengan cara penipuan (gharar), tidak memberikan mudharat pada penggunanya, dan harus ada kejelasan antara pembeli dan penjual. Fintech syariah menerapkan dua skema akad, yaitu:

1. Akad Mudharabah

Akad Mudharabah yaitu, akad kerjasama suatu usaha antara pemilik modal (shahibul-maaf yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola (‘amil/mudharib) dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai yang disepakati dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.

2. Akad Musyarakah

Akad Musyarakah adalah akad antara pihak Ammana dan Penyalur dana, antara lain BMT, KSPPS, BPRS, Lembaga Ventura Syariah. Pemilik modal dan penyalur dana akan sama-sama menyetorkan modal dengan nominal sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan pihak-pihak dalam musyarakah tersebut.

Mengatasi Kasus Fintech Syariah

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Sengketa ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Agama, ketentuan ini diatur dalam Pasal 49 huruf (i) Sebagaimana penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: a). Bank syariah, b). lembaga keuangan mikro syariah, c). Asuransi syariah, d). Reasuransi syariah, e). Reksa dana syariah, f). Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g). Sekuritas syariah, h). Pembiayaan syariah, i). Pegadaian syariah, j). Dana pensiun lembaga keuangan syariah, k). Bisnis syariah.

Fintech syariah pada dasarnya merupakan sebuah sistem digital yang digunakan dalam industri keuangan, sehingga untuk mengklasifikasikannya sebagaimana dalam ketentuan perundang-undangan harus dilihat terlebih dahulu bentuk dari fintech syariah tersebut, selanjutnya akan diketahui fintech syariah tersebut masuk pada klasifikasi apa karena setiap fintech bisa berbeda-beda, boleh jadi bergerak dalam bisnis syariah, pembiayaan syariah, lembaga keuangan mikro syariah dan sebagainya dari situ dapat diketahui bahwa Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara sengketa dalam fintech syariah. 

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 PERMA Nomor 14 Tahun 2016 bahwa perkara ekonomi syariah dapat diajukan dalam bentuk sederhana atau gugatan dengan acara biasa. Penyelesaian tersebut didasarkan atas besaran nilai objek sengketa dan tingkat kesulitan dalam pembuktiannya. Namun demikian ada gugatan yang tidak bisa diajukan dalam bentuk gugatan sederhana diantaranya: (1) perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus atau hak atas tanah, (2) Tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, dan (3) pihak yang berperkara lebih dari satu dan tidak memiliki kepentingan yang sama.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 PERMA Nomor 4 Tahun 2019 bahwa penyelesaian gugatan sederhana adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai materiil paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana.

Tahapan penyelesaian perkara gugatan sederhana meliputi: (1) pendaftaran, (2) pemeriksaan kelengkapan gugatan sederhana, (3) penetapan hakim penunjukan panitera pengganti, (4) pemeriksaan pendahuluan, (5) penetapan hari sidang dan pemanggilan, (6) pemeriksaan perkara gugatan sederhana, (7) pembuktian; dan (8) putusan. Secara umum tahapan dalam gugatan sederhana hampir sama dengan dengan tahapan gugatan biasa kecuali dalam gugatan sederhana dikenal adanya pemeriksaan pendahuluan oleh hakim yang ditunjuk, sedangkan dalam pemeriksaan acara bisa hal tersebut tidak dikenal.

Pemeriksaan pendahuluan (dismissal) dilakukan sebelum memeriksa pokok gugatan, hakim yang ditunjuk terlebih dahulu harus memeriksa apakah materi gugatan sederhana sudah benar berdasarkan syarat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 dan 4 PERMA Nomor 2 Tahun 2015 serta perubahannya PERMA Nomor 4 Tahun 2019 serta menilai dari proses pembuktiannya, apabila hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan sederhana, maka hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan sederhana dan atas penetapan tersebut tidak bisa dilakukan upaya hukum. Apabila penggugat mau melanjutkan perkaranya, harus mengajukan gugatan biasa. Penggugat dapat melengkapi surat gugatannya kemudian mendaftarkan ke kepaniteraan dengan mengikuti prosedur yang berlaku dalam pendaftaran gugatan biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun