Dalam rangka menyikapi maraknya (dugaan) peristiwa kekeresan seksual yang terdjadi di lingkungan perguruan tinggi (banyaknya dugaan dosen sebagai pelaku dan mahasiswi sebagai korban) beberapa tahun belakang ini, sangat disayangkan jarang ditemui proses dan prosedur penanganan yang jelas oleh perguruan tinggi bersangkutan, bahkan pihak (pengurus) perguruan tinggi sering terkesan cenderung menutup-nutupi kasus tersebut.
Menyikapi fenomena yang terjadi, pada tanggal 31 Agustus 2021, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (“Permendikbudristek 30/2021”), yang diundangkan (mulai berlaku) pada tanggal 03 September 2021. Permendikbudristek 30/2021 diharapkan dapat menjadi instrumen hukum yang berfungsi sebagai pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk manifestasi nilai-nilai Tridharma di dalam atau di luar lingkungan perguruan tinggi.
PENOLAKAN
Selang beberapa waktu setelah diundangkannya Permendikbudristek 30/2021, beberapa tokoh nasional juga tokoh agama saling menyampaikan sikap penolakan terhadap pertauran tersebut, alasannya ada beberapa ketentuan di dalam Permendikbudristek 30/2021 yang dianggap menciderai nilai-nilai agama dan kebudayaan yang hidup di Indonesia, pasalnya, mereka (pihak yang menolak) menganggap peraturan tersebut secara implisit memperbolehkan aktivitas seksual di luar nikah, selama didasari oleh kehendak para pihak. Adapun beberapa ketentuan yang menjadi poin utama penolakan sebagaimana dimaksud adalah Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l, dan m.
Dari beberapa perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan kekerasan seksual dalam Pasal 5 ayat (2) Permendikbudristek 30/2021, didapati beberapa ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l, dan m menggunakan frasa “tanpa persetujuan korban” yang menjadi salah satu unsur terpenuhinya suatu perbuatan.
Sehingga, beberapa tokoh nasional dan tokoh agama mencoba menafsirkannya secara terbalik, atau dalam istilah hukum dikenal dengan istilah a contratio, yang kurang lebih pandangan para tokoh yang menolak Permendikbudristek 30/2021 dalam menafsirkan beberapa ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) menjadi sebagai berikut (ambil lah salah satu contoh, Pasal 5 ayat (2) huruf l):
"(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban
tanpa persetujuan korban"
Yang apabila ditafsirkan secara terbalik menjadi:
“menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh (kepada orang lain) dengan persetujuan (orang tersebut) bukanlah bentuk kekerasan seksual”
Sehingga, dengan bulat-bulat disimpulkan oleh beberapa pihak (yang menolak), bahwa perbuatan menyentuh, megusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh orang lain, atau secara umum melakukan aktivitas seksual dengan orang lain, selama para pihak menyetujui perbuatan tersebut, adalah perbuatan yang diperbolehkan. Berangkat dari situ, ditemui beberapa pendapat dari pihak (yang menolak) yang menyampaikan kesimpulan yang kurang terukur, yang menyatakan bahwa Permendikbudristek 30/2021 membolehkan aktivitas seksual yang dilakukan oleh pasangan di luar nikah, selama para pihak saling menghendaki dan menyetujui perbuatan tersebut.
KOMENTAR