Tumbal adalah sesuatu atau seseorang yang diserahkan sebagai korban untuk suatu keinginan tertentu. Tumbal berkaitan erat dengan dunia mistik sehingga pembuktiannya sangat susah. Tumbal bisa berupa sesaji hewan maupun manusia. Seseorang yang dijadikan tumbal biasanya akan meninggal atau mengalami cacat seumur hidup.(Wikipedia).Â
Pengertian tumbal ini menggoda penulis untuk bertutur sedikit tentang isu hoax yang beredar melalui media elektronik dalam kaitannya dengan upaya Kepolisian RI memburu PENYEBAR isu hoax menggunakan UU ITE 2008. Pertanyaan pertama yang muncul dibenak saya adalah: Mampukah UU ITE menjerat penyebar isu hoax tersebut? Pada tanggal 27 Februari 2015 yang lalu, saya juga menulis Revisi "Pasal Karet" UU ITE? di Kompasiana ini. Artikel sederhana ini mengulas sedikit tentang kelemahan UU ITE yang kita miliki.
Bila meninjau Azas Legalitas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege ponali (Pasal 1 KUHP), maka UU ITE sama sekali tidak mampu menjerat para PENYEBAR ISU HOAX dengan UU ITE. Alasan pertama adalah tidak diatur dan tidak dijelaskan sedemikian tentang muatan dari kata PENYEBAR BERITA BOHONG. Kalau kita baca UU ITE, terdapat 5 kali menggunakan kata "menyebarkan" dan dalam Pasal 28 lebih khusus dikatakan:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Dalam ketentuan umum UU ITE, kata "menyebarkan" lebih dapat dimengerti sebagai pelaku pertama yang mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. Intinya, pelaku dalam hal ini adalah orang atau pihak yang pertama sekali memproduksi informasi. Mengolah dari bukan informasi menjadi informasi. Kalau hanya untuk pelaku pertama dikenakan pasal ini, maka jelas UU ITE sangat lemah. Bagaimana menjerat mereka yang dengan sengaja "membagikan" (share). Bagaimana pula bila pelaku pertama itu tidak berada di wilayah hukum Indonesia?
Kalau fokus pada kata menyebarkan, maka kita harus mencari pengertian dari kata tersebut. Dalam KBBI, menyebutkan beberapa pengertian dari kata "menyebar" yaitu: Â menghamburkan, menyiarkan, Â menabur, membagi-bagikan dan mengirimkan. Dalam pengertian ini, semua orang yang hanya men-share (membagikan) informasi pun termasuk sebagai "penyebar". Artinya, bukan hanya pelaku pertama yang menjadi sasaran, tetapi juga pelaku kedua sampai pelaku ke-seratus, yang telah berperan dalam menyebarkan. UU ITE kita tidak pernah menjelaskan tentang kata tersebut sehingga sangat lemah.
Tumbal dalam Kerangka Konspirasi Kepentingan
Karena pasal-pasal UU ITE sangat lemah, maka pola kejahatan penyebaran informasi bohong pun dapat didesain sedemikian rupa. Dalam konteks Proxy War, tumbal disiapkan yakni pelaku pertama. Dan itu sah-sah saja. Setelah pelaku pertama memproduksi informasi, pelaku-pelaku berikutnya dengan sengaja atau tidak sengaja mengeroyok "tombol share" sehingga orang-orang yang tidak tahu menjadi tahu. Dan inilah prosedur penyebaran isu yang sangat mujarab di era teknologi yang makin gila ini. Siapa yang dikorbankan? Dari sekian pelaku, satu saja yang dikorbankan yakni pelaku pertama tadi. Bagaimana prosesnya menjadi tumbal, ini juga tergantung dari desain konspirasi dalam kerangka proxy war yang memanfaatkan pihak ketiga untuk sebuah kepentingan.
Revisi UU ITE
Senjata yang telah terbukti mampu memecah-belah bangsa Indonesia adalah "devide et impera". Ini telah terbukti memampukan Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Kemudahan rakyat Indonesia dihasut sudah diketahui oleh dunia sebelum kita-kita yang sedang membaca ini lahir. Oleh karena itu, kita pun tidak tahu kalau kelemahan ini dimanfaatkan untuk menghancurkan kita. Efek samping dari kecanggihan teknologi informasi bisa saja ditunggangi dan sekarang kita sedang hidup dalam perangkap itu.
Maka, menurut saya, bila Kepolisian RI komit untuk memburu penyebar isu hoax, langkah paling pertama adalah harus diusulkan segera untuk merevisi UU ITE yang ada. Tangkap sederet penyebar isu mulai dari pelaku pertama hingga pelaku ke sekian yang telah punya andil menjadikan masyarakat yang tidak tahu menjadi tahu, sebagai efek dari "menyebarkan" (membagikan lewat tombol share). Bila UU ITE tidak direvisi, maka dari sederetan pelaku, tumbal-tumbal kebiadaban informasi menjadi korban kepentingan para konspirator tingkat tinggi. Upaya pemburuan pun gagal dan terus gagal.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H