Birokrasi bukan barang asing yang baru dikenal. Dari sekian penulis yang telah mempublikasikan pengertian ini, kita sepakat saja bahwa yang kita maksud disini adalah "sistem kerja". Sistem kerja dalam pemerintahan sebelum gencarnya perkembangan teknologi informasi seperti sekarang ini dikerjakan dengan pola-pola yang sangat sederhana.Â
Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kita kenal beberapa tahap sistem kerja dalam birokrasi kita. Mulai dengan penggunaan mesin ketik seperti kereta sorong di atas rel, kemudian beralih pada penggunaan komputer, mulai dari penggunaan floppy disk (drive a dan b) kemudian berkembang pada penggunaan harddisk dan seterusnya.
Bukan hanya itu, komputer pun mulai digunakan dalam jaringan. Jaringan komputer dibangun menggunakan beberapa jaringan yang cukup kita kenal. Mulai dengan menggunakan layanan telkomnet instant yang dial-up itu, beralih ke jasa-jasa ISP yang mengkoneksikan komputer menggunakan LAN dan WiFi dan hingga sekarang ini kita kenal dengan istilah fiber optik. Semakin canggih lagi dengan hadirnya teknologi digital dan gadget di mana setiap orang dapat berada dalam jaringan komputer di mana saja.
Perlu kita ketahui bahwa perkembangan demi perkembangan, tidak merata diikuti oleh seluruh masyarakat Indonesia. Munculnya istila "gaptek" bukanlah sebagai lelucon belaka. Ini merupakan realitas kehidupan masyarakat Indonesia bila ditinjau secara keseluruhan. Pejabat pemerintah yang melek teknologi bisa juga dihitung dengan persentase yang sangat kecil.
Terlebih mereka yang bertugas di daerah-daerah yang sampai saat ini belum tersentuh oleh makhluk bernama "internet", menjadi bingung bila mendapat informasi seputar kecanggihan teknologi itu sendiri. Hal ini sangat dapat dipahami karena mereka hidup dan bekerja di zaman transisi dari sistem kerja manual menuju sistem kerja komputerisasi. Kalau ditanya, bagaimana pengalaman kerja mereka, pasti akan lebih fasih menjelaskan bagaimana cara menggunakan mesin ketik yang disorong-sorong itu.
Nah, sekarang sistem kerja sudah banyak berubah. Adapula istilah sistem online. Mereka semakin bingung dan stres menghadapi perubahan yang begitu cepat. Saya ingat bagaimana hebohnya pembaharuan data di e-PUPNS tahun lalu, kesulitan besar tergambar dari raut wajah mereka yang tidak terbiasa dengan barang-barang bernama komputer. Mereka mengenal komputer hanya sebatas tahu saja.
Mereka tidak belajar secara khusus untuk menggunakannya karena faktor usia dan di zaman mereka belum ada benda-benda canggih seperti itu. Setiap kali disampaikan untuk membaharui data di Padamu Negeri, Simpatika, Dapodik dan lain sebagainya, keringat dingin bercucuran karena mereka dipaksakan untuk sesuatu yang baru dan terlambat untuk dipelajari. Dan untuk kita ketahui, mereka itu masih merupakan pemegang kebijakan dan pengambil keputusan di instansinya masing-masing.
Lalu, apa yang terjadi? Mereka tetap berupaya mencari jembatan yang menghubungkan antara "keharusan" dan "ketidaktahuan" mereka. Mencari metode yang mampu menjawab antara "keharusan" dan "kelemahan" mereka. Antara keharusan dan ketidakmampuan sepertinya terdapat satu lembah tak bertuan.Â
Sebuah tatanan tak beraturan yang dapat kita sebutkan sebagai zona liar. Liar dalam hal biaya, liar pula dalam hal tak terdeteksi oleh sistem. Maka, dalam tulisan ini saya mengatakan bahwa potensi terjadinya pungli di lembah tak bertuan ini sangat besar. Siapa yang harus disalahkan? Atau bagaimana harus membenahinya?
Pungli dalam birokrasi online, tidak berada di antara Pro dan Kontra. Kita harus melihat bahwa pungli sudah menjadi pola perilaku dalam tatanan hidup yang "serba instant". Hidup yang ingin serba cepat, mudah dan lancar. Jadi harusnya pungli diletakkan diantara dua situasi yakni antara "siap" dan "tidak siap" menghadapi penertiban tersebut. Bukan hanya dalam sistem kerja online, dalam sistem kerja yang diolah di belakang meja pun terdapat pungli yang tak terdeteksi oleh sistem.
Tulisan ini tidak mengatakan bahwa birokrasi online itu tidak tepat. Juga tidak mengatakan bahwa sistem kerja serba manual itu patut dipertahankan. Saya hanya mau mengatakan bahwa segala sesuatu tentang sebuah perubahan harus dibarengi dengan kesiapan mental. Dan, kita kembali lagi pada seruan "revolusi mental" yang rasanya tidak asing lagi selama satu dekade ini. Orang yang siap menerima perubahan tidak akan mempermasalahkan sistem kerja. Sistem kerja hanyalah salah satu cara untuk mencapai sesuatu yang lebih baik.