[caption id="attachment_348981" align="aligncenter" width="606" caption="Gambar dari www.nonstop-online.com"][/caption]
Tulisan sederhana ini terinspirasi dari komentar Kompasianer M. Edy Sunarto pada tulisan saya sebelumnya berjudul Koperasi, Bukan "Kuperasi". Bunyi komentar beliau langsung saya copas di sini:
Koperasi, satu di antara tiga soko guru ekonomi. Di negara maju, di antaranya macam Perancis dan Swiss, koperasi didengar suaranya oleh negara untuk merumuskan kebijakan ekonomi dan keuangan. Di NKRI koperasi lemah, puskud dan inkud diperkuat oleh adanya oknum dan vested interest untuk ajang bagi2 kue haram. Di mana salah arahnya bermula? Silakan dirunut.
Pada tulisan ini, saya tidak akan merunut asal-usul kesalahan arah dalam Koperasi. Saya masih tetap berharap bahwa akan ada tokoh-tokoh yang memiliki pisau analisa tajam tentang kejanggalan ini. Di sini, saya tetap konsisten pada keberadaan saya sebagai watchdog yang sedang menonton kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam Koperasi.
Belajar dari Credit Union
Tahun 1996 yang lalu, saya mengenal seorang Biarawati dari Belanda, Fr. Amator, CMM yang waktu itu bertugas di Gunung Sitoli (NIAS). Waktu itu beliau memperkenalkan Credit Union (CU) sebagai Lembaga Keuangan Berbasis Masyarakat. CU mengutamakan pendidikan sebagai pilar utama. Materi perdana adalah mengarahkan masyarakat untuk membangun kejujuran dalama mengelola keuangan, membangun kepercayaan antar sesama anggota dan membangun keyakinan bahwa CU mampu memberi perubahan. Dulu saya sempat bertanya-tanya soal materi ini, koq materi pendidikannya bukan berbicara terutama soal bagaimana menghasilkan uang yang banyak dan bagaimana cara menabung supaya dapat keuntungan. Jawabannya saya pahami sekarang. Faktor utama dan penentu adalah manusianya, bukan uangnya. Manusianya harus jujur, saling percaya dan punya harapan.
Sekarang, CU yang saya kenal dulu bernaung di bawah payung hukum Koperasi. Ada yang berbentuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP), ada juga yang berbentuk Koperasi Kredit (KOPDIT). Jadi kalau sekarang banyak kita dengar lembaga berlabel Credit Union, yang ternyata sudah besar di Indonesia, lembaga itu adalah LKNB yang beda label dari Koperasi tapi prinsip sama.
Kekuasaan Tertinggi Pada RAT
Kalau kita melihat struktur organisasi Koperasi, pemegang kekuasaan tertinggi adalah RAT. Bagaimana kalau anggotanya mayoritas "masyarakat mengengah ke bawah" seperti saya tuturkan pada tulisan sebelumnya? Pengawas, Pengurus, dan Pengelola yang berasal dari anggot memainkan peranan penting. Kalau nilai-nilai kejujuran, kepercayaan dan berpegang teguh pada amanat anggota, saya kira Koperasi itu bisa berjalan dengan baik. Namun, siapa yang mampu menjamin bahwa Pengawas, Pengurus dan Pengelola adalah orang-orang yang bersih. Pengemban Fungsi ini dipilih dari anggota berdasarkan standar kualifikasi. Kita pastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang cerdas, pintar dan mampu di antara anggota-anggota lainnya.
Kenyataan sekarang, banyak Koperasi yang tidak melaksanakan RAT. Segala laporan keuangan direkayasa seenaknya berbekal ilmu hitung-hitung yang lazim bagi pengelola keuangan. Pertanggungjawaban kepada anggota tidak masuk prioritas. Tidak melaksanakan RAT, berarti mengkhianati anggota, berkhianat pada kejujuran dan kepercayaan tadi. Yang banyak sekarang adalah bagaimana mempertanggungjawabkan keuangan kepada pihak lain, yang bukan anggota. Siapa pihak lain ini?
Pintu Masuk Uang Haram
Saya tidak membangun apriori terhadap bantuan modal, baik berupa hibah maupun dana bergulir yang merupakan program pemerintah. Tapi berdasarkan pengalaman saya, terdapat banyak sekali kejanggalan dalam hal ini. Saya langsung pada contoh saja. Misalkan, Koperasi dianjurkan untuk membuat proposal permohonan bantuan modal. Angka rupiah yang dijanjikan adalah 50 juta. Setelah proposal di serahkan, diproses dan diverifikasi, permohonan itu terkabul. Dana 50 juta cair secara administratif, lengkap dengan laporan-laporannya. Tapi secara fisik, uang tersebut diterima oleh koperasi 25 jt s.d 35 jt. Kakurangan dari 50 juta ini, saya sebut Uang Haram bagi yang menerimanya. Itu masih di angka 50 juta. Coba kita pikirkan kalau angkanya berada pada kisaran 500 juta sampai 1 M. Atas dasar itu, saya melihat bahwa lebih banyak peluang kesalahan Koperasi disebabkan oleh bimbingan dan pengarahan yang salah, plus intervensi dari pihak ketiga yang menunggangi modus bantuan modal.
Berdasarkan UU Koperasi, Koperasi diberi kebebasan untuk menghimpun dana dari masyarakat melalui Simpanan. Di sisi lain, masih diatur bahwa satu-satunya Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yang tidak masuk dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga saat ini adalah Koperasi. Koperasi berada di bawah pengawasan Dinas Koperasi. Saya melihat bahwa dengan pengawasan yang sangat lemah, Koperasi hampir tak tersentuh PPATK seperti yang kita kenal saat ini. Kalau demikian, dapatkah ditemukan tokoh-tokoh yang menitip modal dalam bentuk simpanan di Koperasi, bila kita kaitkan dengan istilah Rekening Gendut yang sedang trend saat ini?
Barangkali, hal di atas adalah indikasi yang dapat digunakan sebagai dasar penelitian. Silahkan bagi mereka yang berminat untuk melakukan verifikasi. Jangan tanya saya soal bukti karena saya sendiri pun sedang mengumpulkannya. Saya hanya punya keyakinan bahwa bila negeri ini konsisten dengan usaha pemberantasan korupsi, suatu saat, upaya itu akan mendarat juga pada lembaga yang namanya Koperasi.
Uang Haram Untuk Membeli Kue Haram
Kembali kepada pertanyaan Kompasianer M. Edy Sunarto, saya menjawab begini: Kesalahan arah ini tidak bisa dirunut dari asal-mula dia berasal. Ada semacam lingkaran setan juga yang menimbulkan kekaburan dalam tubuh Koperasi. Koperasi terkenal dengan jati dirinya yakni 'anggota', dan jati diri itu dinomorduakan pada UU No. 17 Tahun 2012 yang telah di batalkan oleh MK. Substansi Koperasi menurut UU No. 25 Tahun 1992 adalah "Kumpulan Orang (Anggota)". Sedangkan pada UU No. 17 Tahun 2012, substansinya berubah menjadi "Kumpulan Modal (Uang)". Dari sini, kita bisa melihat bahwa ada begitu banyak pihak yang memanfaatkan Koperasi untuk memperoleh keuntungan pribadi. Kelembagaan Koperasi saat ini pun sedang serba tidak teratur. Dasar Hukum yang dipakai tidak mampu mendefinisikan koperasi seperti yang dulu dicita-citakan oleh M. Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Dan tentu saja, jawaban yang masih dapat dipakai sebagai rujukan utama adalah Sumber Daya Manusia yang sangat kurang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H