Mohon tunggu...
Fauziah Chairunnisa
Fauziah Chairunnisa Mohon Tunggu... -

May 20th 1994.\r\nDalam hidup terkadang kita tidak perlu terpaku pada satu tujuan. karena intuisi warna menceritakan hidup ini punya aneka warna yang tidak perlu kamu pilih tapi kamu harus coba. Karena dengan itu kamu dapat menemukan apa itu 'kenyamanan'

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bunglon Itu Aku

7 Juli 2011   02:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:52 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berjalan lurus tanpa arah

Entah kemana kaki melangkah

Entah jalan mana yang kutuju

Hingga pada suatu hari

Dimana aku bertemu denganmu

Setitik sinar lilin yang kukira untukku......

Ketika saya mencoba mengenalkan pada diri saya bahwa ‘dia’ seseorang yang bersama saya saat ini adalah ‘sahabat’, dan saat itu juga hati saya bertanya, “Apa benar dia sahabat untuk saya? Apa dia melakukan hal yang sama mengenalkan saya pada dirinya bahwa saya adalah sahabatnya?” pertanyaan yang belum terjawab oleh diri saya pribadi, dan pada akhirnya sayapun menyerah dan melangkahkan kaki untuk pergi lingkaran dari dunia dari dimensi yang sering disebut ‘persahabatan’.

Aku ini bagai bunglon, yang bisa beradaptasi dengan mudah dengan lingkungan disekelilingku. Yang bisa dengan mudahnya berubah warna ketika aku berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tapi bunglon hampir punah, kemanapun dia melangkah susah untuknya menemukan dirinya di hewan lain. Dia selalu merasa sendiri dimanapun ia berada. Lingkungan sangat berteman dengannya, tapi bunglon belum bisa merasa sepenuhnya cocok dengan lingkungan itu sekalipun ia juga berteman dengan lingkungan itu. Ia tidak pernah sendiri, ia selalu dikelilingi banyak teman yang berbeda, tapi ia selalu merasa sendiri. Yang ia lakukan adalah bertahan di kehidupan yang bukan kehidupan yang ia inginkan, bertahan di lingkungan yang belum yakini.

Sampai pada akhirnya, ia bertemu, bertemu seekor bunglon yang sama sepertinya. Melihat itu ia seperti bercermin. Awalnya ia masih ragu, apa benar mahluk itu dikirim untuknya, tapi ia selalu mencoba, mencoba masuk dalam dunia mahluk itu.

Hari demi hari berlalu. Iapun berhasil masuk dalam dunia mahluk itu. Ia merasa nyaman. Ia merasa kehampaan kesendiriannya selama ini telah terisi. Dalam hidupnya tak pernah dia merasakan kenyamanan semacam ini. Dia....amat bahagia menjalani kehidupannya dengan mahluk itu. Kekosongan yang selama ini ia cari telah ia temukan. Kehidupan diluar sanapun ia tidak lepaskan karena dirinya sadar, ia tak bisa hidup dengan satu orang saja, masih banyak yang ia butuhkan. Ia menamakan mahluk itu ‘sahabat’. Tak ada satu ceritapun yang tak diceritakannya pada mahluk itu. Ya dia merasa apapun tentangnya mahluk itu harus tau karena dialah sahabat. Dia benar – benar merasa mahluk itu sahabatnya.

Hingga pada suatu hari.....ia mengaku kesulitannya mencari seseorang yang bisa dekat dengannya pada seseorang yang ia anggap sahabat itu. Dia bercerita bahwa ibunyapun menganggap dirinya ada kelainan jiwa karena sulit untuknya menjadikan seseorang itu sahabat. Dia merasa sedih sekali akan hal itu.

Mahluk itu menanggapinya sambil tertawa kecil lalu berkata masih dalam tawanya, “hahahaha....mama kamu ada ada saja. Cari sahabat itu memang gak mudah. Aku juga begitu kok. Lihat kita berteman kan? Kita dekat bukan? Tapi kamu tetap saja bukan sahabatku, sahabatku ada diluar sana. Aku bisa berteman dengan siapapun, tapi tidak mudak bersahabat dengan siapapun, sama seperti kamu.......”

kita berteman kan? Kita dekat bukan? Tapi kamu tetap saja bukan sahabatku.........kalimat itu terus terngiang di telingaku. Seperti ada pedang yang menusuk hatiku. Pedih. Sakit. kecewa.....................

Sebuah kisah yang membuat saya sadar tidak semua orang yang saya rasa cocok untuk pribadi saya bisa disebut sahabat. Karena persahabatan dimulai bukan hanya dari satu pihak saja, bukan hanya dari-saya-yang-menganggap dia adalah ‘sahabat saya’, tapi juga dari dia-yang-menganggap saya juga adalah ‘sahabatnya’. Dan kini saya tetap belajar untuk.......bertahan.

Kukira kau milikku

Kukira kau untukku

Tapi kusalah!

Kau datang mengisi hariku

Kau datang memberi candamu

Tapi bukan untuk bersamaku.....

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun